Perbandingan Hukum dan Undang-Undang
Dosen Pengampu :
Al-Ustadz Ahmad Fanani, M.A
Oleh:
Anistsabatini Siti Jazilatul Chikmah
34.3.1.11541
PERBANDINGAN
MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
MANTINGAN NGAWI JAWA TIMUR INDONESIA
2016-1437
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara
mengenai sistem hukum, walaupun secara singkat, hendaknya harus diketahui
terlebih dahulu arti dari sistem itu. Dalam suatu sistem terdapat
komponen-komponen yang saling berhubungan, saling mengalami ketergantungan
dalam keutuhan organisasi yang teratur serta terintregasi. Dalam suatu sistem
yang baik tidak boleh terdapat suatu pertentangan atau benturan antara bagian-bagian.
Selain itu, juga tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih di antara
bagian-bagian itu.
Studi
perbandingan hukum pidana pada dasarnya memperbandingkan berbagai sistem hukum
yang ada. Hukum pidana positif Indonesia ialah berasal dari keluarga hukum Civil
Law System yang mementingkan sumber hukum dari peraturan perundangan yang
ada dan berlaku di Indonesia. Sementara Inggris menganut sistem hukum Common
Law System yang mengutamakan kebiasaan yang berlaku di sana. Kebiasaan
tersebut dapat berupa norma maupun putusan-putusan hakim sebelumnya. Selain
perbedaan seperti yang tersebut diatas, kedua sistem hukum pidana kedua negara
sebenarnya memiliki kesamaan.
Suatu sistem mengandung beberapa
asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya. Dapat dikatakan bahwa suatu
sistem tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya. Dengan demikian, sifat
sistem itu menyeluruh dan berstruktur yang keseluruhan komponen-komponennya
bekerja sama dalam hubungan fungsional. Jadi, hukum adalah suatu sistem. Artinya
suatu susunan atau tataan teratur dari aturan-aturan hidup. Keseluruhannya
terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain.
Asas
legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: ”Tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Konsekuensi
dari pasal tersebut ialah bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam
undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapat dipidana, jadi
dengan asas ini hukum yang tidak tertulis tidak memiliki kekuatan hukum untuk
diterapkan. Namun atas hal itu dikecualikan terhadap daerah-daerah yang dulu
termasuk kekuasaan pengadilan swapraja dan pengadilan adat dengan dilakukan
pembatasan-pembatasan tertentu. Selain itu KUHP Indonesia juga melarang adanya
analogi terhadap suatu perbuatan konkret yang tidak diatur oleh undang-undang.
B. Pokok Masalah
1. Apa saja Sistem Hukum yang mempengaruhi
suatu Negara?
2.
Bagaimana Perbedaan Asas
Legalitas Hukum Pidana Nasional dan Hukum Pidana Internasional?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Sistem hukum yang
mempengaruhi suatu Negara
2. Mengetahui Perbedaan Asas
Legalitas Hukum Pidana Nasional dan Hukum Pidana Internasional
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Macam-Macam Sistem Hukum
Pada
dasarnya banyak sistem hukum yang dianut oleh berbagai negara-negara didunia,
namun dalam sejarah dan perkembangannya ada 4 macam sistem hukum yang sangat
mempengaruhi sistem hukum yang diberlakukan di berbagai negara tersebut. Adapun
sistem hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.
Sistem Hukum
Eropa Kontinental (Civil Law)
Sistem hukum Eropa Kontinental
adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan
hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih
lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di
negara yang menganut sistem hukum ini.
Sistem hukum
ini berkembang di negara-negara eropa daratan yang sering disebut sebagai Civil
Law. Civil law, dalam satu pengertian merujuk ke seluruh sistem
hukum yang saat ini diterapkan pada sebagian besar negara Eropa Barat, Amerika Latin, negara-negara Timur dekat, dan
sebagian wilayah Afrika, Indonesia dan Jepang. Sistem ini diturunkan dari Romawi kuno, dan yang pertama kali
diterapkan di Eropa berdasarkan jus civile Romawi-hukum privat yang
dapat diaplikasikan terhadap warga negara dan di antara warga negara, di dalam
batasan sebuah negara dalam konteks domestik.
Sistem ini
juga disebut jus quiritum, sebagai lawan dari jus gentium-hukum
yang dapat diaplikasikan secara internasional, yakni antar negara. Pada waktu
yang tepat akhirnya, hukum ini dikompilasikan dan kemudian “dikodifikasikan”
dan banyak pengamat sering merujuk pada civil law sebagai hukum terkodifikasi
yang paling utama.[1]
Sistem civil law mempunyai tiga karakteristik yaitu adanya
kodifikasi, hakim tidak terikat pada preseden sehingga undang-undang menjadi
sumber hukum yang paling utama, dan sistem peradilan yang bersifat
inkuisitorial.[2]
Berdasarkan
sumber-sumber hukum itu, maka sistem hukum kontinental penggolongannya ada dua
yaitu penggolongan dalam bidang hukum publik dan hukum privat. Hukum publik (droit
public) mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan
wewenang penguasa atau negara serta hubungan-hubungan antara masyarakat dan
negara. Hukum publik mengatur lembaga-lembaga milik negara yang memberikan
layanan publik, sekolah, rumah sakit dan pemerintah daerah, serta mengatur
kedudukan hukum orang-orang yang melayani Negara.[3]
2.
Sistem Hukum
Anglo Saxon
(Common Law)
Sistem Hukum
Anglo Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu
keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan
hakim-hakim selanjutnya.[4] Dikatakan pula bahwa sistem hukum
Anglo Saxon merupakan hukum yang dibuat berdasarkan adat atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat dan
keputusan hakim.
Sistem common law Inggris, yang terdiri atas beberapa
karakteristik hukum, sudah sewajarnya jika dipandang sebagai salah satu sistem
hukum utama di dunia. Meskipun bukan merupakan sistem hukum tertua yang pernah
ada, sistem hukum Inggris merupakan hukum nasional tertua yang berlaku umum di
seluruh wilayah kerajaan. Sama seperti sistem civil law, sistem hukum
Inggris dilahirkan melalui rentetan peristiwa bersejarah, serangkaian sumber
hukum, ideologi, doktrin, institusi yang berbeda dan moda pemikiran hukum yang
berbeda yang secara kolektif yang membentuk tradisi common law Inggris.
Tradisi hukum ini berhasil “dicangkokkan” dari Inggris ke berbagai negara di
seluruh dunia yang secara kultural, juga secara geografis dan linguistik,
berbeda dengan Inggris. Tradisi tersebut di tempat-tempat seperti Australia,
Asia Tenggara, India, dan Hongkong, kemudian diformulasikan dan dijadikan
bagian dari sistem hukum yang berlaku saat itu pada yurisdiksi tertentu. Luar
biasanya sumber-sumber hukum, institusi dan hukum Inggris yang unik ini dapat
berdiri bersama dengan budaya, agama, dan hukum adat asli dari tempat-tempat
tersebut, dan seringkali muncul sistem dualistik.
3.
Sistem Hukum Adat
Berkembang
di lingkungan kehidupan sosial di Indonesia, Cina, India, Jepang, dan negara
lain, di Indonesia asal mula istilah hukum adat adalah dari istilah Adatrecht
yang dikemukakan oleh Snouck Hugronje. Sistem hukum adat merupakan sistem hukum
khas, yang bersifat religiomagis komunal, kontant, dan konkret.
Sistem
hukum adat tidak mengenal kodifikasi, menyadarkan pada asas-asas hukum saja
artinya mengatur dalam garis besar saja. Karena tidak ada penetapan yang prae
existence maka hakim diberi kebebasan dalam mewujudkan keadilan yang hidup
dalam bermasyarakat.
Hukum adat tidak mengenal pembagian hak dalam dua
golongan yaitu “zakelijke rechten” dan “persoonlijke
rechten”. “Zakelijke rechten” adalah hak atas benda yang
bersifat “zakelijk” artinya berlaku terhadap tiap orang. Jadi merupakan
hak mutlak atau absolut. “Persoonlijke rechten” adalah hak atas sesuatu obyek
(benda) yang hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain tertentu, jadi merupakan
hak relatif, hak-hak menurut sistem hukum adat perlindungannya ada di tangan
hakim. Hakim di dalam sengketa yang dihadapinya wajib mempertimbangkan
berat-ringannya kepentingan-kepentingan hukum yang saling bertentangan serta
berhadapan itu.
Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara hukum publik dengan hukum privat. Jika
akan mengadakan pemisahan antara hukum adat
yang bersifat publik dan hukum adat yang hanya mengenai lapangan privat saja,
maka batas antara kedua lapangan itu di dalam hukum adat adalah berlainan.
Hukum adat tidak membedakan pelanggaran-pelanggaran
hukum dalam dua golongan yaitu pelanggaran yang bersifat pidana dan harus
diperiksa oleh hakim pidana, dan pelanggaran-pelanggaran yang hanya mempunyai
akibat dalam lapangan perdata saja serta yang diadili oleh hakim Perdata. Tiap pelanggaran hukum adat membutuhkan
pembetulan hukum kembali dan hakim (kepala adat) memutuskan upaya adat (adat
reaksi) apa yang harus digunakan untuk memulihkan kembali hukum yang dilanggar
itu.[5]
4.
Sistem Hukum Islam
Sistem hukum Islam berasal dari Arab, kemudian berkembang ke
negara-negara lain seperti negara-negara Asia, Afrika, Eropa, Amerika secara
individual maupun secara kelompok dalam penyebarannya.
Berdasarkan sistem hukum dunia diatas, negara Belanda dan Prancis
termasuk negara yang menganut sistem hukum Eropa kontinental. Hal ini dapat
dilihat dari sejarah dan politik hukumnya, sistem sumber-sumber hukumnya maupun
dalam sistem penegakan hukumnya. Namun dalam pembentukan peraturan perundangan
yang berlaku sistem hukum Belanda dan Prancis dipengaruhi oleh sistem hukum
Kekaisaran Romawi.
Sistem Hukum Belanda dan Prancis yang menggunankan sistem Eropa
Kontinental menganut mazhab legisme dan positivisme. Mazhab legisme
adalah Mazhab atau aliran yang menganggap bahwa semua hukum terdapat dalam
Undang-Undadang atau berarti hukum identik dengan Undang-Undang. Hakim dalam
melakukan tugasnya terikat pada Undang-Undang, sehingga pekerjaannya hanya
melakukan pelaksanaan Undang-Undang belaka (wetstoepassing). Aliran legisme
demikian besarnya menganggap kemampuan Undang-Undang sebagai hukum, termasuk
dalam penyelesaian berbagai permasalahan sosial. Aliran ini berkeyakinan bahwa
semua persoalan sosial akan segera terselesaikan apabila telah dikeluarkan
Undang-Undang yang mengaturnya. Menurut aliran ini Undang-Undang adalah obat
segala-galanya sekalipun dalam kenyataannya tidak demikian.
Sedangkan Mazhab atau Aliran Positivisme Hukum (Rechtspositivisme)
sering juga disebut dengan aliran legitimisme. Aliran ini sangat
mengagungkan hukum tertulis. Menurut aliran ini tidak ada norma hukum diluar
hukum positif. Semua persoalan masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Sehingga
terkesan hakikat dari aliran ini adalah penghargaan yang berlebihan terhadap
kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis ini sehingga dianggap kekuasaan itu
adalah sumber hukum dan kekuasaan adalah hukum.
Aliran ini dianut oleh John Austin (1790 1861, Inggris) menyatakan bahwa
satu-satunya hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara.
Sedangkan sumber-sumber lain hanyalah sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber
hukum itu adalah pembuatnya langsung yaitu pihak yang berdaulat atau badan
perundang-undangan yang tertinggi dan semua hukum dialirkan dari sumber yang
sama itu. Hukum yang bersumber dari itu harus ditaati tanpa syarat, sekalipun
terang dirasakan tidak adil.
Menurut Austin hukum terlepas dari soal keadilan dan dari soal
buruk-baik. Aliran positivisme hukum ini memperkuat aliran legisme yaitu suatu
aliran tidak ada hukum diluar undang-undang. Undang menjadi sumber hukum
satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan dengan hukum yang harus
ditaati oleh masyarakat.[6]
B. Makna Asas Legalitas
Karena penerapan hukum
pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat
perbuatan dilakukan,[7]
maka dalam hukum pidana kemudian dikenal asas-asas tentang batas berlakunya
hukum pidana menurut waktu dan tempat. Berkaitan dengan berlakunya hukum pidana
menurut waktu, asas yang berlaku di dalamnya adalah asas yang dikenal dengan
sebutan asas legalitas (principle of legality).
Asas legalitas dalam
hukum pidana merupakan asas yang sangat fundamental. Asas legalitas dalam hukum
pidana begitu penting untuk menentukan apakah suatu perbuatan hukum pidana
dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila terjadi
suatu tindak pidana, maka akan dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang
mengaturnya dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat diberlakukan terhadap
tindak pidana yang terjadi.[8]
Dalam hukum pidana asas
legalitas mengandung pengertian bahwa, “tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan atusan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan.” Ketentuan ini, sebagaimana yang termaktub
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, adalah pengertian baku dari asas legalitas. Asas
ini dalam bahasa latin dikenal dengan nullum delictum nulla poena sine
praevia lege (tiada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih
dahulu).[9]
C. Asas Legalitas Dalam
Hukum Pidana Islam
Secara teoritis, asas
legalitas memiliki dua fungsi, yaitu fungsi melindungi dan fungsi instrumental.
Fungsi melindungi dapat diartikan bahwa Undang-Undang Pidana melindungi rakyat
terhadap kekuasaan pemerintah tanpa batas, karena dengan adanya keharusan untuk
menentukan perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dalam suatu Undang-Undang,
maka Pemerintah tidak bisa dengan keinginannya menyatakan bahwa tindakan rakyat
merupakan tindakan yang terlarang sehingga dia dijatuhi hukuman. Sedangkan
fungsi instrumental dapat diartikan bahwa dalam batas-batas yang ditentukan
Undang-Undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah tegas-tegas diperbolehkan.[10]
Asas legalitas biasanya
tercermin dari ungkapan dalam bahas latin: Nullum Deliktum Nulla Poena
Praevia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan
terlebih dahulu. Asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan akal manusia,
tetapi dari ketentuan Tuhan. Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
$tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB
4Ó®Lym y]yèö6tR
Zwqßu
ÇÊÎÈ
Artinya: “ ...dan
Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” [11]
Untuk menerapkan asas
legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat keseimbangan. Hukum Islam
menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat.ia
menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga, dan masyarakat melalui kategorisasi
kejahatan dan sanksinya.[12]
D. Asas Legalitas dalam Konteks Hukum
Pidana Nasional
Asas legalitas
merupakan salah satu asas utama di dalam hukum pidana nasional ataupun dalam
asas ini adalah dasar untuk menjadikan suatu perbuatan dapat dipidana ataupun
tidak dipidanan. Sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP
Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidanan kecuali atas
kekuatan aturan-aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum
perbuatan dilakukan.”[13]
Asas legalitas ini
pertama-tama mempunyai bentuk sebagai Undang-Undang adalah dalam Konstitusi
Amerika 1776 dan sesudah itu dalam Pasal 8 Declaration de droits de l’homme et
du citoyen 1789: “nu ne peut etre puni qu’en vertu d’une loi etabile et
promulguee anterieurement au delit et legalement appliquee.” Asas ini
selanjutnya dimasukkan ke dalam Pasal 4 Code Penal Perancis yang disusun
oleh Napoleon Bonaparte. Dari Code Penal Perancis inilah, asas tersebut
kemudian dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht di
Negeri Belanda dan selanjutnya asas tersebut dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP
Indonesia.[14]
Di Inggris, asas
legalitas dirumuskan oleh seorang filsuf yang bernama Francis Bacon dalam adagium
moneat lex, piusquam feriat. Artinya, Undang-Undang harus memberikan
peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkadung di
dalamnya. Dalam perkembangan selanjutnya pada level nasional, asas legalitas
ini tidak hanya tercantum dalam kitab Undang-Undang hukum pidana masing-masing
negara, namun lebih dari itu, asas legalitas termaktub dalam konstitusi
masing-masing Negara.
Di Jerman, asas
legalitas ini dikenal dengan istilah gesetzlichkeitsprinsip yang tidak
hanya dimuat dalam Pasal 1 KUHP tetapi juga termaktub dalam Pasal 103
Konstitusi Jerman, “An act can be punished only where it constituted a
criminal offence under the law before the act was committed.”
Di Italia, asas
legalitas diatur dalam Pasal 25 Konstitusi, “No one shall be punished save
on the basis of a law which has entered into force before the offence has been
committed.”
Di Belanda, asas
legalitas baru dimasukkan dalamkonstitusi tahun 1983 pada pasal 16. Awalnya
asas legalitas dalam pengertian hukum tidak berlaku surut hanya mengikat
pembentuk Undang-Undang yang lebih rendah, sementara pembentuk Undang-Undang
pada tingkat pusat dapat membuat aturan yang berlaku surut.
Sementara di Indonesia,
asas legalitas dalam konstitusi baru dimasukkan dalam amandemen kedua UUD 1945
dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP Indonesia berbunyi, “Jika sesudah perbuatan
dilakukan ada perubahan dalam perudang-undangan, dipakai aturan yang paling
ringan bagi terdakwa.” [15]
Berbeda dengan sebagian
besar Negara di dunia, Cina adalah negara yang tidak memberlakukan asas
legalitas. Dalam Pasal 2 KUHP Cina ditegaskan bahwa pidana adalah alat
perjuangan untuk menghadapi perbuatan yang kontrarevolusioner. Konsekuensinya,
analogi dalam penerapan hukum pidana tegas-tegas diperbolehkan. Dalam hal
terdapat perbuatan yang patut dipidana tetapi perbuatan tersebut tidak
tercantum dalam perundang-undangan di Cina, maka diterapkan ketentuan pidana
dengan jalan analogi terhadap perbuatan pidana yang paling mirip dalam
perundang-undangan. Akan tetapi penerapan analogi ini harus mendapat
persetujuan Mahkamah Agung Cina terlebih dulu.[16]
Berdasarkan penelusuran
Eddy O.S. Hiariej, sehubungan dengan pandangan para pakar hukum pidana tentang
asas legalitas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa pengertian dari asas legalitas
adalah: “Tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan
ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu.”
Pengertian ini hampir
sama dengan rumusan yang ada dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dengan demikian, asas
legalitas adalah peraturan hukum konkret yang pengertiannya biasanya dapat
dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masing-masing negara sebagai
definisi baku dan asas legalitas itu sendiri.[17]
E. Asas Legalitas dalam Konteks Hukum
Pidana Internasional
Asas legalitas
merupakan salah satu asas yang paling fundamental dalam hukum pidana di seluruh
dunia, termasuk dalam hukum pidana Indonesia. Asas legalitas dalam konteks
hukum pidana Indonesia tentu akan selalu merujuk pada Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Selain KUHP, asas legalitas juga telah diatur dalam konstitusi, yaitu dalam
Pasal 281 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[18]
Terhadap asas legalitas
dalam konteks hukum pidana internasional, terdapat perbedaan di antara para
ahli hukum pidana. Antonio Cassese dengan mengambil perbandingan pelaksanaan
asas legalitas di negara-negara civil law yang sangat demokratis,
menyatakan bahwa ada empat hal ayng terkandung dalam asas legalitas. Yaitu:
1. Makna asas legalitas terkandung dalam
postulat nullum crimen sine lege scripta, yang mempunyai makna bahwa
pelanggaran hukum pidana hanya ada dalam hukum tertulis yang dibuat oleh
legislatif atau parlemen dan tidak berdasarkan aturan-aturan kebiasaan
2. Makna asas legalitas terkandung dalam
postulat nullum crimen sine lege stricta, yang artinya kebijakan
kriminal harus berdasarkan prinsip spesifik melalui aturan-aturan yang
mengkriminalisasikan suatu kelakuan manusia
3. Makna asas legalitas terdapat dalam postulat
nullum crimen sine praevia lege, yang artinya aturan-aturan pidana tidak boleh
berlaku surut sehingga seseorang tidak boleh dipidana berdasarkan ketentuan
yang belum ada pada saat ia melakukannya.
4. Makna asas legalitas adalah larangan
menerapkan aturan-aturan pidana secara analogi.[19]
Ukuran berlakunya asas
legalitas dalam hukum pidana internasional tidaklah dapat disamakan dengan
ukuran berlakunya asas legalitas dalam hukum pidana nasional. Selain karena
hukum pidana internasional juga bersumber dari kebiasaan internasional sehingga
dimungkinkan berlakunya asas legalitas adalah berdasarkan hukum kebiasaan
internasional.
Perumusan ketentuan
pidana dalam konvensi-konvensi internasional selain tidak jelas juga bersifat
tumpang-tindih antara satu dengan yang lain. Hal ini dimaksud agar mempermudah
penuntutan terhadap pelaku kejahatan internasional. Selain itu, ketentuan
pidana dalam konvensi-konvensi internasional tidak memuat ancaman pidana secara
tegas. Asas legalitas dalam hukum pidana internasional bersifat universal yang
lebih menitikberatkan pada keadilan dan bukan kepastian hukum. Oleh karena itu
asas legalitas dalam konteks hukum pidana internasional dapat diberlakukan
surut dan penerapan secara analogi diperbolehkan.[20]
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
1. Sistem hukum
yang dianut oleh berbagai negara-negara didunia, antara lain:
a. Sistem Hukum
Eropa Kontinental (Civil Law)
b. Sistem Hukum
Anglo Saxon (Common Law)
c. Sistem Hukum
Adat
d. Sistem Hukum
Islam
2. Asas legalitas adalah peraturan hukum konkret
yang pengertiannya biasanya dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana masing-masing negara sebagai definisi baku dan asas legalitas itu
sendiri. Dan ukuran berlakunya asas legalitas dalam hukum pidana internasional
tidaklah dapat disamakan dengan ukuran berlakunya asas legalitas dalam hukum
pidana nasional
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar
Grafika. 2012)
Cassese, Antonio, International Criminal Law, (t.t: Oxfort
University Press. 2003)
Cruz, Peter De, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law
dan Socialist Law, (Bandung: Nusa Media. 2010)
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka
Cipta. 1991)
Hamzah, Andi, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar
Grafika. 1995)
Hiariej, Eddy O.S., Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam
Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga. 2009)
Hiariej, Eddy O.S., Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,
(Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. 2014)
Mahmud, Peter, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenada Media
Group. 2009)
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat
dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press. 2003)
Suarda, I Gede Widhiana, Hukum Pidana Internasional,
(Bandung: Citra Aditya Bakti. 2012)
Usfa, A. Fuad, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: UMM Press.
2004)
Widyawati, Anis, Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Sinar
Grafika. 2014)
INTERNET
LAIN-LAIN
Bayu, Bernardus, Perbedaan Antara Sistem Hukum Adat dengan
Sistem Hukum Barat, (Resume Hukum Adat: tidak diterbitkan), 2011
[1] Peter De Cruz,
Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Socialist Law,
(Bandung: Nusa Media. 2010), hlm. 61
[2] Prof. Dr.
Peter Mahmud, S.H., M.S., LL.M., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenada
Media Group. 2009), hlm. 286
[3] Peter De Cruz,
Op.Cit, hlm. 109
[5] Bernardus
Bayu, Perbedaan Antara Sistem Hukum Adat dengan Sistem Hukum Barat, (Resume
Hukum Adat: tidak diterbitkan), 2011
[7] Andi Hamzah, Asas-Asas
Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta. 1991), hlm. 27
[8] A. Fuad Usfa
dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: UMM Press. 2004), hlm. 9
[9] Mahrus Ali,
S.H, M.H, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika. 2012), hlm.
59-60
[10] Mahrus Ali,
S.H, M.H, Ibid, hlm. 71
[11] Q.S Al-Israa’:
15
[12] Topo Santoso,
S.H, M.H, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan
Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press. 2003), hlm. 10-12
[13] Anis
Widyawati, S.H, M.H., Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Sinar
Grafika. 2014) hlm. 26
[14] Eddy O.S.
Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
2014), hlm. 62
[15] Eddy O.S.
Hiariej, Ibid, hlm. 63-66
[16] Andi Hamzah, Perbandingan
Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika. 1995), hlm. 22-24
[17] Eddy O.S.
Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta:
Erlangga. 2009), hlm. 19
[18] I Gede
Widhiana Suarda, S.H, M.Hum., Hukum Pidana Internasional, (Bandung:
Citra Aditya Bakti. 2012), hlm. 74
[19] Antonio
Cassese, International Criminal Law, (t.k.: Oxfort University Press.
2003), hlm. 141-142
[20] Eddy O.S.
Hiariej, Op.Cit, hlm. 74