Selalu Sertakan Allah Dalam Setiap Langkah Kaki Berpijak

Tuesday, 24 May 2016



Disusun untuk memenuhi mata kuliah:
Perbandingan Hukum dan Undang-Undang
Dosen Pengampu :
Al-Ustadz Ahmad Fanani, M.A

Oleh:
Anistsabatini Siti Jazilatul Chikmah
34.3.1.11541

PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
MANTINGAN NGAWI JAWA TIMUR INDONESIA
2016-1437
BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berbicara mengenai sistem hukum, walaupun secara singkat, hendaknya harus diketahui terlebih dahulu arti dari sistem itu. Dalam suatu sistem terdapat komponen-komponen yang saling berhubungan, saling mengalami ketergantungan dalam keutuhan organisasi yang teratur serta terintregasi. Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terdapat suatu pertentangan atau benturan antara bagian-bagian. Selain itu, juga tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih di antara bagian-bagian itu.
Studi perbandingan hukum pidana pada dasarnya memperbandingkan berbagai sistem hukum yang ada. Hukum pidana positif Indonesia ialah berasal dari keluarga hukum Civil Law System yang mementingkan sumber hukum dari peraturan perundangan yang ada dan berlaku di Indonesia. Sementara Inggris menganut sistem hukum Common Law System yang mengutamakan kebiasaan yang berlaku di sana. Kebiasaan tersebut dapat berupa norma maupun putusan-putusan hakim sebelumnya. Selain perbedaan seperti yang tersebut diatas, kedua sistem hukum pidana kedua negara sebenarnya memiliki kesamaan.
Suatu sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya. Dapat dikatakan bahwa suatu sistem tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya. Dengan demikian, sifat sistem itu menyeluruh dan berstruktur yang keseluruhan komponen-komponennya bekerja sama dalam hubungan fungsional. Jadi, hukum adalah suatu sistem. Artinya suatu susunan atau tataan teratur dari aturan-aturan hidup. Keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain.
Asas legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: ”Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Konsekuensi dari pasal tersebut ialah bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapat dipidana, jadi dengan asas ini hukum yang tidak tertulis tidak memiliki kekuatan hukum untuk diterapkan. Namun atas hal itu dikecualikan terhadap daerah-daerah yang dulu termasuk kekuasaan pengadilan swapraja dan pengadilan adat dengan dilakukan pembatasan-pembatasan tertentu. Selain itu KUHP Indonesia juga melarang adanya analogi terhadap suatu perbuatan konkret yang tidak diatur oleh undang-undang.
B.     Pokok Masalah
1.      Apa saja Sistem Hukum yang mempengaruhi suatu Negara?
2.      Bagaimana Perbedaan Asas Legalitas Hukum Pidana Nasional dan Hukum Pidana Internasional?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui Sistem hukum yang mempengaruhi suatu Negara
2.      Mengetahui Perbedaan Asas Legalitas Hukum Pidana Nasional dan Hukum Pidana Internasional

BAB 2
PEMBAHASAN
A.    Macam-Macam Sistem Hukum
Pada dasarnya banyak sistem hukum yang dianut oleh berbagai negara-negara didunia, namun dalam sejarah dan perkembangannya ada 4 macam sistem hukum yang sangat mempengaruhi sistem hukum yang diberlakukan di berbagai negara tersebut. Adapun sistem hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.      Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law)
Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.
Sistem hukum ini berkembang di negara-negara eropa daratan yang sering disebut sebagai Civil Law. Civil law, dalam satu pengertian merujuk ke seluruh sistem hukum yang saat ini diterapkan pada sebagian besar negara Eropa Barat, Amerika Latin, negara-negara Timur dekat, dan sebagian wilayah Afrika, Indonesia dan Jepang. Sistem ini diturunkan dari Romawi kuno, dan yang pertama kali diterapkan di Eropa berdasarkan jus civile Romawi-hukum privat yang dapat diaplikasikan terhadap warga negara dan di antara warga negara, di dalam batasan sebuah negara dalam konteks domestik.
Sistem ini juga disebut jus quiritum, sebagai lawan dari jus gentium-hukum yang dapat diaplikasikan secara internasional, yakni antar negara. Pada waktu yang tepat akhirnya, hukum ini dikompilasikan dan kemudian “dikodifikasikan” dan banyak pengamat sering merujuk pada civil law sebagai hukum terkodifikasi yang paling utama.[1]
Sistem civil law mempunyai tiga karakteristik yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat pada preseden sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang paling utama, dan sistem peradilan yang bersifat inkuisitorial.[2]
Berdasarkan sumber-sumber hukum itu, maka sistem hukum kontinental penggolongannya ada dua yaitu penggolongan dalam bidang hukum publik dan hukum privat. Hukum publik (droit public) mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa atau negara serta hubungan-hubungan antara masyarakat dan negara. Hukum publik mengatur lembaga-lembaga milik negara yang memberikan layanan publik, sekolah, rumah sakit dan pemerintah daerah, serta mengatur kedudukan hukum orang-orang yang melayani Negara.[3]
2.      Sistem Hukum Anglo Saxon (Common Law)
Sistem Hukum Anglo Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya.[4] Dikatakan pula bahwa sistem hukum Anglo Saxon merupakan hukum yang dibuat berdasarkan adat atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat dan keputusan hakim.
Sistem common law Inggris, yang terdiri atas beberapa karakteristik hukum, sudah sewajarnya jika dipandang sebagai salah satu sistem hukum utama di dunia. Meskipun bukan merupakan sistem hukum tertua yang pernah ada, sistem hukum Inggris merupakan hukum nasional tertua yang berlaku umum di seluruh wilayah kerajaan. Sama seperti sistem civil law, sistem hukum Inggris dilahirkan melalui rentetan peristiwa bersejarah, serangkaian sumber hukum, ideologi, doktrin, institusi yang berbeda dan moda pemikiran hukum yang berbeda yang secara kolektif yang membentuk tradisi common law Inggris. Tradisi hukum ini berhasil “dicangkokkan” dari Inggris ke berbagai negara di seluruh dunia yang secara kultural, juga secara geografis dan linguistik, berbeda dengan Inggris. Tradisi tersebut di tempat-tempat seperti Australia, Asia Tenggara, India, dan Hongkong, kemudian diformulasikan dan dijadikan bagian dari sistem hukum yang berlaku saat itu pada yurisdiksi tertentu. Luar biasanya sumber-sumber hukum, institusi dan hukum Inggris yang unik ini dapat berdiri bersama dengan budaya, agama, dan hukum adat asli dari tempat-tempat tersebut, dan seringkali muncul sistem dualistik.
3.      Sistem Hukum Adat
Berkembang di lingkungan kehidupan sosial di Indonesia, Cina, India, Jepang, dan negara lain, di Indonesia asal mula istilah hukum adat adalah dari istilah Adatrecht yang dikemukakan oleh Snouck Hugronje. Sistem hukum adat merupakan sistem hukum khas, yang bersifat religiomagis komunal, kontant, dan konkret.
Sistem hukum adat tidak mengenal kodifikasi, menyadarkan pada asas-asas hukum saja artinya mengatur dalam garis besar saja. Karena tidak ada penetapan yang prae existence maka hakim diberi kebebasan dalam mewujudkan keadilan yang hidup dalam bermasyarakat.
Hukum adat tidak mengenal pembagian hak dalam dua golongan yaitu zakelijke rechten” dan “persoonlijke rechten”. Zakelijke rechten” adalah hak atas benda yang bersifat “zakelijk” artinya berlaku terhadap tiap orang. Jadi merupakan hak mutlak atau absolut. “Persoonlijke rechten” adalah hak atas sesuatu obyek (benda) yang hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain tertentu, jadi merupakan hak relatif, hak-hak menurut sistem hukum adat perlindungannya ada di tangan hakim. Hakim di dalam sengketa yang dihadapinya wajib mempertimbangkan berat-ringannya kepentingan-kepentingan hukum yang saling bertentangan serta berhadapan itu.
Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara hukum publik dengan hukum privat. Jika akan mengadakan pemisahan antara hukum adat yang bersifat publik dan hukum adat yang hanya mengenai lapangan privat saja, maka batas antara kedua lapangan itu di dalam hukum adat adalah berlainan.
Hukum adat tidak membedakan pelanggaran-pelanggaran hukum dalam dua golongan yaitu pelanggaran yang bersifat pidana dan harus diperiksa oleh hakim pidana, dan pelanggaran-pelanggaran yang hanya mempunyai akibat dalam lapangan perdata saja serta yang diadili oleh hakim Perdata. Tiap pelanggaran hukum adat membutuhkan pembetulan hukum kembali dan hakim (kepala adat) memutuskan upaya adat (adat reaksi) apa yang harus digunakan untuk memulihkan kembali hukum yang dilanggar itu.[5]
4.      Sistem Hukum Islam
Sistem hukum Islam berasal dari Arab, kemudian berkembang ke negara-negara lain seperti negara-negara Asia, Afrika, Eropa, Amerika secara individual maupun secara kelompok dalam penyebarannya.
Berdasarkan sistem hukum dunia diatas, negara Belanda dan Prancis termasuk negara yang menganut sistem hukum Eropa kontinental. Hal ini dapat dilihat dari sejarah dan politik hukumnya, sistem sumber-sumber hukumnya maupun dalam sistem penegakan hukumnya. Namun dalam pembentukan peraturan perundangan yang berlaku sistem hukum Belanda dan Prancis dipengaruhi oleh sistem hukum Kekaisaran Romawi.
Sistem Hukum Belanda dan Prancis yang menggunankan sistem Eropa Kontinental menganut mazhab legisme dan positivisme. Mazhab legisme adalah Mazhab atau aliran yang menganggap bahwa semua hukum terdapat dalam Undang-Undadang atau berarti hukum identik dengan Undang-Undang. Hakim dalam melakukan tugasnya terikat pada Undang-Undang, sehingga pekerjaannya hanya melakukan pelaksanaan Undang-Undang belaka (wetstoepassing). Aliran legisme demikian besarnya menganggap kemampuan Undang-Undang sebagai hukum, termasuk dalam penyelesaian berbagai permasalahan sosial. Aliran ini berkeyakinan bahwa semua persoalan sosial akan segera terselesaikan apabila telah dikeluarkan Undang-Undang yang mengaturnya. Menurut aliran ini Undang-Undang adalah obat segala-galanya sekalipun dalam kenyataannya tidak demikian.
Sedangkan Mazhab atau Aliran Positivisme Hukum (Rechtspositivisme) sering juga disebut dengan aliran legitimisme. Aliran ini sangat mengagungkan hukum tertulis. Menurut aliran ini tidak ada norma hukum diluar hukum positif. Semua persoalan masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Sehingga terkesan hakikat dari aliran ini adalah penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis ini sehingga dianggap kekuasaan itu adalah sumber hukum dan kekuasaan adalah hukum.
Aliran ini dianut oleh John Austin (1790 1861, Inggris) menyatakan bahwa satu-satunya hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sedangkan sumber-sumber lain hanyalah sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatnya langsung yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama itu. Hukum yang bersumber dari itu harus ditaati tanpa syarat, sekalipun terang dirasakan tidak adil.
Menurut Austin hukum terlepas dari soal keadilan dan dari soal buruk-baik. Aliran positivisme hukum ini memperkuat aliran legisme yaitu suatu aliran tidak ada hukum diluar undang-undang. Undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan dengan hukum yang harus ditaati oleh masyarakat.[6]
B.     Makna Asas Legalitas
Karena penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan,[7] maka dalam hukum pidana kemudian dikenal asas-asas tentang batas berlakunya hukum pidana menurut waktu dan tempat. Berkaitan dengan berlakunya hukum pidana menurut waktu, asas yang berlaku di dalamnya adalah asas yang dikenal dengan sebutan asas legalitas (principle of legality).
Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang sangat fundamental. Asas legalitas dalam hukum pidana begitu penting untuk menentukan apakah suatu perbuatan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila terjadi suatu tindak pidana, maka akan dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang mengaturnya dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi.[8]
Dalam hukum pidana asas legalitas mengandung pengertian bahwa, “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan atusan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.” Ketentuan ini, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, adalah pengertian baku dari asas legalitas. Asas ini dalam bahasa latin dikenal dengan nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tiada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu).[9]
C.    Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam
Secara teoritis, asas legalitas memiliki dua fungsi, yaitu fungsi melindungi dan fungsi instrumental. Fungsi melindungi dapat diartikan bahwa Undang-Undang Pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan pemerintah tanpa batas, karena dengan adanya keharusan untuk menentukan perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dalam suatu Undang-Undang, maka Pemerintah tidak bisa dengan keinginannya menyatakan bahwa tindakan rakyat merupakan tindakan yang terlarang sehingga dia dijatuhi hukuman. Sedangkan fungsi instrumental dapat diartikan bahwa dalam batas-batas yang ditentukan Undang-Undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah tegas-tegas diperbolehkan.[10]
Asas legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahas latin: Nullum Deliktum Nulla Poena Praevia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu. Asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan akal manusia, tetapi dari ketentuan Tuhan. Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
$tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ  
Artinya: “ ...dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.[11]
Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat.ia menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga, dan masyarakat melalui kategorisasi kejahatan dan sanksinya.[12]
D.    Asas Legalitas dalam Konteks Hukum Pidana Nasional
Asas legalitas merupakan salah satu asas utama di dalam hukum pidana nasional ataupun dalam asas ini adalah dasar untuk menjadikan suatu perbuatan dapat dipidana ataupun tidak dipidanan. Sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidanan kecuali atas kekuatan aturan-aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”[13]
Asas legalitas ini pertama-tama mempunyai bentuk sebagai Undang-Undang adalah dalam Konstitusi Amerika 1776 dan sesudah itu dalam Pasal 8 Declaration de droits de l’homme et du citoyen 1789: “nu ne peut etre puni qu’en vertu d’une loi etabile et promulguee anterieurement au delit et legalement appliquee.” Asas ini selanjutnya dimasukkan ke dalam Pasal 4 Code Penal Perancis yang disusun oleh Napoleon Bonaparte. Dari Code Penal Perancis inilah, asas tersebut kemudian dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht di Negeri Belanda dan selanjutnya asas tersebut dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Indonesia.[14]
Di Inggris, asas legalitas dirumuskan oleh seorang filsuf yang bernama Francis Bacon dalam adagium moneat lex, piusquam feriat. Artinya, Undang-Undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkadung di dalamnya. Dalam perkembangan selanjutnya pada level nasional, asas legalitas ini tidak hanya tercantum dalam kitab Undang-Undang hukum pidana masing-masing negara, namun lebih dari itu, asas legalitas termaktub dalam konstitusi masing-masing Negara.
Di Jerman, asas legalitas ini dikenal dengan istilah gesetzlichkeitsprinsip yang tidak hanya dimuat dalam Pasal 1 KUHP tetapi juga termaktub dalam Pasal 103 Konstitusi Jerman, “An act can be punished only where it constituted a criminal offence under the law before the act was committed.”
Di Italia, asas legalitas diatur dalam Pasal 25 Konstitusi, “No one shall be punished save on the basis of a law which has entered into force before the offence has been committed.”
Di Belanda, asas legalitas baru dimasukkan dalamkonstitusi tahun 1983 pada pasal 16. Awalnya asas legalitas dalam pengertian hukum tidak berlaku surut hanya mengikat pembentuk Undang-Undang yang lebih rendah, sementara pembentuk Undang-Undang pada tingkat pusat dapat membuat aturan yang berlaku surut.
Sementara di Indonesia, asas legalitas dalam konstitusi baru dimasukkan dalam amandemen kedua UUD 1945 dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP Indonesia berbunyi, “Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perudang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.” [15]
Berbeda dengan sebagian besar Negara di dunia, Cina adalah negara yang tidak memberlakukan asas legalitas. Dalam Pasal 2 KUHP Cina ditegaskan bahwa pidana adalah alat perjuangan untuk menghadapi perbuatan yang kontrarevolusioner. Konsekuensinya, analogi dalam penerapan hukum pidana tegas-tegas diperbolehkan. Dalam hal terdapat perbuatan yang patut dipidana tetapi perbuatan tersebut tidak tercantum dalam perundang-undangan di Cina, maka diterapkan ketentuan pidana dengan jalan analogi terhadap perbuatan pidana yang paling mirip dalam perundang-undangan. Akan tetapi penerapan analogi ini harus mendapat persetujuan Mahkamah Agung Cina terlebih dulu.[16]
Berdasarkan penelusuran Eddy O.S. Hiariej, sehubungan dengan pandangan para pakar hukum pidana tentang asas legalitas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa pengertian dari asas legalitas adalah: “Tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu.”
Pengertian ini hampir sama dengan rumusan yang ada dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dengan demikian, asas legalitas adalah peraturan hukum konkret yang pengertiannya biasanya dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masing-masing negara sebagai definisi baku dan asas legalitas itu sendiri.[17]
E.     Asas Legalitas dalam Konteks Hukum Pidana Internasional
Asas legalitas merupakan salah satu asas yang paling fundamental dalam hukum pidana di seluruh dunia, termasuk dalam hukum pidana Indonesia. Asas legalitas dalam konteks hukum pidana Indonesia tentu akan selalu merujuk pada Pasal 1 ayat (1) KUHP. Selain KUHP, asas legalitas juga telah diatur dalam konstitusi, yaitu dalam Pasal 281 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[18]
Terhadap asas legalitas dalam konteks hukum pidana internasional, terdapat perbedaan di antara para ahli hukum pidana. Antonio Cassese dengan mengambil perbandingan pelaksanaan asas legalitas di negara-negara civil law yang sangat demokratis, menyatakan bahwa ada empat hal ayng terkandung dalam asas legalitas. Yaitu:
1.      Makna asas legalitas terkandung dalam postulat nullum crimen sine lege scripta, yang mempunyai makna bahwa pelanggaran hukum pidana hanya ada dalam hukum tertulis yang dibuat oleh legislatif atau parlemen dan tidak berdasarkan aturan-aturan kebiasaan
2.      Makna asas legalitas terkandung dalam postulat nullum crimen sine lege stricta, yang artinya kebijakan kriminal harus berdasarkan prinsip spesifik melalui aturan-aturan yang mengkriminalisasikan suatu kelakuan manusia
3.      Makna asas legalitas terdapat dalam postulat nullum crimen sine praevia lege, yang artinya aturan-aturan pidana tidak boleh berlaku surut sehingga seseorang tidak boleh dipidana berdasarkan ketentuan yang belum ada pada saat ia melakukannya.
4.      Makna asas legalitas adalah larangan menerapkan aturan-aturan pidana secara analogi.[19]
Ukuran berlakunya asas legalitas dalam hukum pidana internasional tidaklah dapat disamakan dengan ukuran berlakunya asas legalitas dalam hukum pidana nasional. Selain karena hukum pidana internasional juga bersumber dari kebiasaan internasional sehingga dimungkinkan berlakunya asas legalitas adalah berdasarkan hukum kebiasaan internasional.
Perumusan ketentuan pidana dalam konvensi-konvensi internasional selain tidak jelas juga bersifat tumpang-tindih antara satu dengan yang lain. Hal ini dimaksud agar mempermudah penuntutan terhadap pelaku kejahatan internasional. Selain itu, ketentuan pidana dalam konvensi-konvensi internasional tidak memuat ancaman pidana secara tegas. Asas legalitas dalam hukum pidana internasional bersifat universal yang lebih menitikberatkan pada keadilan dan bukan kepastian hukum. Oleh karena itu asas legalitas dalam konteks hukum pidana internasional dapat diberlakukan surut dan penerapan secara analogi diperbolehkan.[20]

BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Sistem hukum yang dianut oleh berbagai negara-negara didunia, antara lain:
a.       Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law)
b.      Sistem Hukum Anglo Saxon (Common Law)
c.       Sistem Hukum Adat
d.      Sistem Hukum Islam
2.      Asas legalitas adalah peraturan hukum konkret yang pengertiannya biasanya dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masing-masing negara sebagai definisi baku dan asas legalitas itu sendiri. Dan ukuran berlakunya asas legalitas dalam hukum pidana internasional tidaklah dapat disamakan dengan ukuran berlakunya asas legalitas dalam hukum pidana nasional

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika. 2012)
Cassese, Antonio, International Criminal Law, (t.t: Oxfort University Press. 2003)
Cruz, Peter De, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Socialist Law, (Bandung: Nusa Media. 2010)
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta. 1991)
Hamzah, Andi, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika. 1995)
Hiariej, Eddy O.S., Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga. 2009)
Hiariej, Eddy O.S., Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. 2014)
Mahmud, Peter, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group. 2009)
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press. 2003)
Suarda, I Gede Widhiana, Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti. 2012)
Usfa, A. Fuad, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: UMM Press. 2004)
Widyawati, Anis, Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika. 2014)
INTERNET
LAIN-LAIN
Bayu, Bernardus, Perbedaan Antara Sistem Hukum Adat dengan Sistem Hukum Barat, (Resume Hukum Adat: tidak diterbitkan), 2011



[1] Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Socialist Law, (Bandung: Nusa Media. 2010), hlm. 61
[2] Prof. Dr. Peter Mahmud, S.H., M.S., LL.M., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group. 2009), hlm. 286
[3] Peter De Cruz, Op.Cit, hlm. 109
[5] Bernardus Bayu, Perbedaan Antara Sistem Hukum Adat dengan Sistem Hukum Barat, (Resume Hukum Adat: tidak diterbitkan), 2011
[7] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta. 1991), hlm. 27
[8] A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: UMM Press. 2004), hlm. 9
[9] Mahrus Ali, S.H, M.H, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika. 2012), hlm. 59-60
[10] Mahrus Ali, S.H, M.H, Ibid, hlm. 71
[11] Q.S Al-Israa’: 15
[12] Topo Santoso, S.H, M.H, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press. 2003), hlm. 10-12
[13] Anis Widyawati, S.H, M.H., Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika. 2014) hlm. 26
[14] Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. 2014), hlm. 62
[15] Eddy O.S. Hiariej, Ibid, hlm. 63-66
[16] Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika. 1995), hlm. 22-24
[17] Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga. 2009), hlm. 19
[18] I Gede Widhiana Suarda, S.H, M.Hum., Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti. 2012), hlm. 74
[19] Antonio Cassese, International Criminal Law, (t.k.: Oxfort University Press. 2003), hlm. 141-142
[20] Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hlm. 74

Follow Us @cha2kiyut