Disusun untuk memenuhi mata kuliah:
Etika Profesi Hukum
Dosen Pengampu :
Al-Ustadz Imam Kamaluddin, Lc, M.Hum
PERBANDINGAN
MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS
SYARI’AH
UNIVERSITAS
DARUSSALAM GONTOR
MANTINGAN NGAWI
JAWA TIMUR INDONESIA
2016-1437
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hal
mendasar yang tidak dapat dilepaskan begitu saja dalam membicarakan pembenaran
moral adalah persoalan yang berkenaan dengan pertanyaan, “Bagaimana seseorang
dapat hidup dengan cara yang baik setiap saat?” Oleh karena itu, pertanyaan
spesifik seperti, “Apa yang disebut yang baik atau yang tidak baik, apa yang
pantas dan apa pula yang tidak pantas, serta bagaimana cara mengetahuinya,”
merupakan persoalan yang urgen untuk dijawab untuk melihat aktivitas pembenaran
moral yang sesungguhnya bagi manusia.
Sifat
perilaku yang baik seperti jujur, adil, santun, dermawan dan sebagainya atau
kebalikannya merupakan indikator untuk menetapkan seseorang itu berperilaku
baik atau tidak baik. Selain bentuk pengujian seperti ini, konsekuensi dari
setiap perbuatan juga merupakan indikator untuk menetapkan suatu perbuatan
seseorang itu baik atau tidak baik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
keputusan nilai pada naturalisme bersifat ungkapan faktual sehingga dapat diuji
secara empiris.[1]
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan baik dan buruk?
2.
Apa
saja ajaran dan tujuan moral?
3.
Apa
saja problematika moral dalam kehidupan bermasyarakat?
C. Tujuan Penulisan
1.
Dapat
mengetahui maksud dari baik dan buruk
2.
Dapat
mengetahui ajaran dan tujuan moral
3.
Dapat
mengetahui problematika moral yang terjadi dalam masyarakat
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Baik dan Buruk
Di
dalam Ensiklopedia Indonesia, pengertian baik dan buruk itu adalah sebagai
berikut; “ Sesuatu hal dikatakan baik, bila ia mendatangkan rahmat, dan
memberikan perasaan senang atau bahagia, jadi sesuatu yang dikatakan baik bila
ia dihargai secara positif.” Sedangkan pengertian buruk; “adalah segala yang
tercela, lawan baik, pantas, bagus, dan sebagainya. Perbuatan buruk berarti
perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.”
Dari
uraian diatas dapatlah dikemukakan, bahwa yang dikatakan dengan baik adalah
apabila memberikan kenikmatan, kesenangan, kepuasan sesuai dengan yang
diharapkan. Sedangkan yang dikatakan dengan buruk apabila dinilai sebaliknya.
Baik
dan buruk itu sifatnya individual akan terpulang kepada orang yang menilainya,
kesimpulan ini dikemukakan disebabkan baik dan buruk itu terikat pada ruang dan
waktu, sehingga dia tidak berlaku secara universal.Suatu perbuatan itu dapat
dinilai baik dan buruk, dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain:[2]
1.
Menurut
Ajaran Agama
Standar
baik dan buruk menurut ajaran dienul islam berbeda dengan ukuiran-ukuran
lainnya, untuk melihat apakah sesuatu perbuatan itu baik atau buruk dapat
dipegangi sebuah hasits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, yang
mengemukakan sebagai berikut:“Sesungguhnya sesuatu perilaku/perbuatan itu
tergantung kepada niatnya, dan perilaku/perbuatan itu dinilai berdasarkan
niatnya.”
Selain
disandarkan kepada niat, untuk menilai apakah sesuatu perbuatan itu baik atau
buruk, juga harus diperhatikan kriteria “Bagaimana cara melakukan perbuatan
itu?” Sebab, andai kata pun niat seseorang melakukan perbuatan itu baik, akan
tetapi cara melakukannya salah, maka perbuatan itu tetap juga digolongkan
kepada buruk, karena salah dalam mengaplikasikan niat baik tersebut.
Penggunaan
kriteria cara melakukan perbuatan itu dapat dirujuk kepada ketentuan Al-Qur’an
surat Q.S. Al-Baqarah ayat 263, yang artinya:“Perkataan yang baik dan
pemberian maaflebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang
menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.”
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan, bahwa untuk mengukur
apakah sesuatu itu dikategorikan kepada perbuatan baik atau perbuatan buruk
adlah didasarkan kepada:
a.
Niat,
yaitu sesuatu yang melatar belakangi (mendorong) lahirnya sesuatu perbuatan
yang sering juga diistilahkan dengan kehendak.
b.
Dalam
hal merealisasikan kehendak tersebut harus dilaksanakan dengan cara yang baik.
2.
Adat
Kebiasaan
Kebiasaan ialah yang memberi pekerja sifat dan jalan yang tertentu
dalam pikiran, keyakinan, keinginan dan percakapan. Kemudia, jika ia telah
tercetak dalam sifat ini, ia sangat suka pada pekerjaannya, kecuali dengan
kesukaran. Kekuatan kebiasaan ialah yang menjadikan orang-orang tua menolak
pendapat dan penemuan baru, sedangkan manusia melihat pada angkatan muda cepat
sekali memluk dan melakukan pendapat dan penemuan baru tersebut.
Hal
itu karena orang-orang tua itu telah biasa dalam pikiran tertentu dan biasa
menjalankannya sehingga tidak menyukai segala hal yang menyalahinya. Adapaun
angkatan muda dan anak-anak belum membiasakan hal-hal tertentu dari pikirannya
sehingga bersedia menerima apa yang terbukti kebenarannya.[3]
Setiap
suku atau bangsa di dunia mempunyai adat istiadat yang diwariskan dari satu
generasi ke generasi lain. Barangsiapa patuh dan taat kepada adat istiadat
tersebut maka orang lain yang bersangkutan dapat dipandang baik, dan sebaliknya
bagi siapa yang melanggar adat istiadat tersebut, maka yang bersangkutan
dipandang telah berbuat buruk. Jadi dapatlah dikatakan bahwa ukuran bak dan
buruk itu tergantung kepada kesetiaan dan ketaatan
seseorang (loyal) terhadap ketentuan adat istiadat.
Namun
demikian dalam lapangan hukum hal ini tidaklah dapat diperpegangi sepenuhnya,
sebab banyak dari ketentuan-ketentuan Hukum Adat (yang berasal dari adat
istiadat) perintah dan larangannya itu irasional (tidak dapat diterima oleh
akal sehat).
B.
Antara Etika dan Moral
Etika
dapat diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral, filsafat moral, dan
yang terpenting sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan
manusia atau kelompok manusia dalam mengatur perilakunya. Nilai-nilai dan
norma-norma moral tersebut merupakan kebiasaan yang menggambarkan perangai
manusia dalam hidup bermasyarakat, dan perilaku baik-buruk, benar dan salah
berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kebebasan kehendak.
Sementara,
moral diartikan lebih sempit daripada etika. Secara etimologi, moral diartikan
sama dengan etika, yang berupa nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi
pegangan manusia atau kelompok dalam mengatur perilakunya. Nilai-nilai dan
norma-norma itu menjadi ukuran moralitas perbuatan.[4]
Moral
berasal dari bahasa latin, moralis; dari mos, moris =
“adat istiadat”; “kebiasaan”; “cara”; “tingkah laku”. Moral bersangkutan dengan
kegiatan manusia yang dipandang baik atau buruk, benar atau salah. Menyesuaikan
dengan kaidah-kaidah yang diterima tentang apa yang dipandang baik (tindakan
yang benar, adil, layak). Moral memiliki kapasitas untuk diarahkan oleh
(dipengaruhi oleh) suatu kesadaran benar dan salah, dan kapasitas untuk
mengarahkan (mempengaruhi) yang lain sesuai dengan kaidah tingkah laku yang
nilai benar atau salah.[5]
Moralitas
merupakan kualitas perbuatan manusia, dalam arti perbuatan itu baik atau buruk,
benar atau salah. Moralitas perbuatan ditentukan oleh tiga faktor yaitu:
motivasi, tujuan akhir, dan lingkungan perbuatan.
Tindakan
moral memang berada dalam warna dan corak yang berbeda-beda, tetapi dalam
konteks tujuan dan orientasi tidak berbeda karena sesuatu yang mengarah pada
yang satu secara esensial adalah satu. Moralitas manusia tetap tidak bersifat
plural. Pluralitas hanya terjadi dalam wilayah eksistensial manusia yang sarat
dengan tendensi-tendensi yang sesungguhnya berada di luar watak hakiki manusia
itu sendiri.
Selain
itu, moral pada dasarnya merupakan semacam tindakan yang bercermin pada
tindakan-tindakan yang ilahiah yang karenanya sasaran moral adalah berperilaku
seperti perbuatan Tuhan. Mengingat perbuatan Tuhan selamanya tanpa pamrih,
tentu pula kebaikan dan kebajikan moral yang sesungguhnya merupakan bagian
integral dari nilai kebaikan dan kebajikan semua objek moral.
C.
Ajaran dan Tujuan Moral
Etika
harus dibedakan dari moral. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan
norma moral yang terdapat diantar sekelompok manusia, mengajarkan cara orang
harus hidup, dan merupakan rumusan sistematis terhadap anggapan tentang apa
yang bernilai serta kewajiban manusia. Adapun etika merupakan ilmu tentang
norma, nilai dan ajaran moral.
Ajaran
moral memuat pandangan tentang nilai dan normamoral yang terdapat diantar
sekelompok manusia. Nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia,
sedangkan norma moral adalah bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi lebih
baik sebagai manusia. Kebaikan moral merupakan kebaikan manusia sebagai
manusia, sedangkan kebaikan pada umumnya merupakan kebaikan manusia dilihat
dari satu segi saja. Moral berkaitan dengan moralitas.
Moralitas
adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket dan sopan
santun. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama, atau
sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber. Etika bukan sumber tambahan
moralitas, melainkan merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral.[6]
Norma
mengandung nilai universal dan berlaku bagi siapa saja, tetapi keegoisan
jelas-jelas menyangkut hanya pada satu orang, yaitu kepentingan pribadi. “penghambaan”
terhadap diri sendiri sering kali terjadi pada manusia yang tidak mengerti
hukum moral.
Adapun
pola hidup yang diajarkan Islam sangat berbeda. Bahwa seluruh kegiatan hidup
sampai pada kematian sekalipun, semata-mata dipersembahkan hanya kepada Allah.
Ucapan yang selalu dinyatakan dalam shalat, yaitu doa iftitah, merupakan
bukti nyata bahwa etikaIslam adalah mendapatkan ridha Allah SWT, atau sering
disebut dengan mardhatillah. Jika seorang muslim mencari rezeki,
tujuannya bukanlah sekedar untuk mengisi perut bagi diri dan keluarganya. Pada
hakikatnya, dia mempunyai tujuan yang lebih tinggi dan lebih mulia dari pada
itu secara filosofis.
Dia
mencari rezeki untuk memenuhi hajat hidupnya dan itu barulah tujuan yang dekat.
Masih ada tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu mencari rezeki untuk mendapatkan
makanan guna membina kesehatan rohani dan jasmani sedangkan tujuan membina
kesehatan itu ialah supaya kuat beribadah dan beramal, yang dengan amal ibadah
itulah, ia dapat mencapai tujuan yang terakhir, yakni ridha Allah SWT.[7]
Ridha
Allah itulah yang menjadi kunci kebahagiaan yang kekal dan abadi ayng
dijanjikan Allah dan yang dirindukan setiap manusia beriman. Tanpa ridha Allah,
kebahagiaan abadi dan sejati (surga) tidak akan daat diraih oleh siapapun, dan
panggilan ini dikemukan Allah dalam Al-Qur’an surat Q.S. Al-Fajr ayat 27-30,
yang artinya:“Hai
jiwa yang tenang.Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya.Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,dan masuklah ke
dalam syurga-Ku.”
D.
Problematika Moral dan Profesi Manusia
Moral
merupakan suatu tindakan yang berkaitan dengan baik dan buruk, salah dan benar.Dalam
agama Islam, moralitas dapat diterjemahkan sebagai akhlak, yaitu suatu tindakan
yang mengajarkan suatu ide perbuatan baik yang harus dipedomani dan dikerjakan
maupun yang harus dihindari, terutama berkaitan dengan perbuatan jahat dalam
hubungannya dengan Allah SWT, manusia, alam, dan kehidupan sehari-hari.
Sebagai
makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan dari manusia lainnya.
Manusia tidak akan pernah bisa memenuhi segala kebutuhan hidupnya tanpa bantuan
manusia yang lain. Oleh karena itu manusia selalu memadukan kontak dngan
manusia yang lain. Agar tidak terjadi kekacauan dalam kehidupan bermasyarakat,
segala tindakan atas hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya,
harus dilandasi dengan etika dan secara konkret harus diatur oleh norma-norma
hukum tertentu.
Terhadap
profesi-profesi yang terdapat dalam masyarakat dapat terjadi
kemerosotan-kemerosotan dalam kegiatan dari para pengemban profesi itu, sebagai
akibat dari pelanggaran etika dan kode etik profesi oleh sebagian pengemban
profesi itu.Pelaksanaan suatu profesi harus berkaitan dengan etika dan kode
etik profesi yang bersangkutan. Oleh karena itu, perlu bagi kita tentang
kejelasan arti dan kata profesi tersebut.[8]
E.
Etika dan Moralitas Versus Kekuasaan Politik
Tuntutan
pertama etika politik adalah “hidup baik bersama dan untuk orang lain”. Pada
tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku
politikus atau warga negara. Politikus yang baik apabila ia jujur, santun,
memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki
keprihatinan untuk kesejahteraan umum dan tidak memetingkan golongannya. Jadi,
politikus yang menjalankan etik politik adalah negarawan yang mempunyai
keutamaan-keutamaan moral.
Politik
dipahami sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur
dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan
hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum
mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus.
Oleh
sebab itu, dengan berbekal moralitas yang tinggi, seorang pejabat dalam
mengeluarkan keputusan politik, diharapkan dapat berpihak dalam mengeluarkan
keputusan politik, diharapkan dapat berpihak pada kemaslahatan, bukan kesengsaraan.
Persoalannya saat ini adalah moralitas dan kepentingan politik merupakan bagian
terpisah, yang keduanya berdiri pada dua kutub yang ekstrem.
Moralitas
dengan berbagai kepasitasnya senantiasa berpihak pada kebaikan serta kebenaran,
berdiri pada posisi normatif dan sakral. Adapun politik yangselalu mengagungkan
kepentingan dan kekuasaan berdiri kukuh merelatifkan kebenaran serta kebaikan
demi keuntungan pribadi atau kelompok.Dua hal yang berbeda dan berseberangan.
Dalam
hal ini, moralitas pejabat negara dipertaruhkan pada realitas sosial di
masyarakat. Selama moralitas dan politik berada pada posisi yang berlawanan,
sampai kapanpun kebenaran dan kebaikan universal sulit ditegakkan. Berbagai
kasus penyimpangan moral yang dilakukan para pejabat negara, tidak akan pernah
sampai pada jeruji tahanan, kecuali ada kepentingan politik didalamnya.[9]
BAB 3
KESIMPULAN
1. Baik adalah sesuatu hal
dikatakan baik, bila ia mendatangkan rahmat, dan memberikan perasaan senang
atau bahagia, jadi sesuatu yang dikatakan baik bila ia dihargai secara positif. Sedangkan
buruk adalah segala yang tercela, lawan baik, pantas, bagus, dan sebagainya.
Perbuatan buruk berarti perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma
masyarakat yang berlaku.
2. Tujuan yang tinggi dan mulia dari ajaran moral secara filosofis
yakni Ridha Allah SWT.
3. Terhadap profesi-profesi yang terdapat dalam masyarakat dapat
terjadi kemerosotan-kemerosotan dalam kegiatan dari para pengemban profesi itu,
sebagai akibat dari pelanggaran etika dan kode etik profesi oleh sebagian
pengemban profesi itu
DAFTAR PUSTAKA
Nuh,Muhammad, Etika Profesi Hukum, Bandung: Pustaka Setia. 2011
Lubis,Suhrawardi K, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar
Grafika. 1994
Pramudya,Kelik, Pedoman Etika Profesi
Aparat Hukum, Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 2010
Mudhofir,Ali, Kamus Etika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009
Alfan,Muhammad, Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka
Setia. 2011
[1]Muhammad Nuh, Etika
Profesi Hukum, Bandung: Pustaka Setia. 2011, hlm. 53-55
[2]Suhrawardi K
Lubis, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. 1994, hlm. 38-41
[3]Muhammad Alfan,
Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia. 2011, hlm. 82-83
[4]Kelik Pramudya
dan Ananto Widiatmoko, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, Yogyakarta:
Pustaka Yustisia. 2010, hlm. 6
[5]Ali Mudhofir, Kamus
Etika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009, hlm. 352-353
[6]Muhammad Nuh, Etika
Profesi Hukum, Bandung: Pustaka Setia. 2011, hlm. 60
[7]Muhammad Alfan,
Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia. 2011, hlm. 43
[8]Muhammad Nuh, Etika
Profesi Hukum, Bandung: Pustaka Setia. 2011, hlm. 59-60
[9]Muhammad Alfan,
Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia. 2011, hlm. 278-281
No comments:
Post a Comment