Selalu Sertakan Allah Dalam Setiap Langkah Kaki Berpijak

Monday, 7 March 2016

PROFESI DAN MORALITAS

Disusun untuk memenuhi mata kuliah:
Etika Profesi Hukum
Dosen Pengampu :
Al-Ustadz Imam Kamaluddin, Lc, M.Hum






PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
MANTINGAN NGAWI JAWA TIMUR INDONESIA
2016-1437

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Hal mendasar yang tidak dapat dilepaskan begitu saja dalam membicarakan pembenaran moral adalah persoalan yang berkenaan dengan pertanyaan, “Bagaimana seseorang dapat hidup dengan cara yang baik setiap saat?” Oleh karena itu, pertanyaan spesifik seperti, “Apa yang disebut yang baik atau yang tidak baik, apa yang pantas dan apa pula yang tidak pantas, serta bagaimana cara mengetahuinya,” merupakan persoalan yang urgen untuk dijawab untuk melihat aktivitas pembenaran moral yang sesungguhnya bagi manusia.
Sifat perilaku yang baik seperti jujur, adil, santun, dermawan dan sebagainya atau kebalikannya merupakan indikator untuk menetapkan seseorang itu berperilaku baik atau tidak baik. Selain bentuk pengujian seperti ini, konsekuensi dari setiap perbuatan juga merupakan indikator untuk menetapkan suatu perbuatan seseorang itu baik atau tidak baik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keputusan nilai pada naturalisme bersifat ungkapan faktual sehingga dapat diuji secara empiris.[1]
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan baik dan buruk?
2.      Apa saja ajaran dan tujuan moral?
3.      Apa saja problematika moral dalam kehidupan bermasyarakat?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Dapat mengetahui maksud dari baik dan buruk
2.      Dapat mengetahui ajaran dan tujuan moral
3.      Dapat mengetahui problematika moral yang terjadi dalam masyarakat


BAB 2
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Baik dan Buruk
Di dalam Ensiklopedia Indonesia, pengertian baik dan buruk itu adalah sebagai berikut; “ Sesuatu hal dikatakan baik, bila ia mendatangkan rahmat, dan memberikan perasaan senang atau bahagia, jadi sesuatu yang dikatakan baik bila ia dihargai secara positif.” Sedangkan pengertian buruk; “adalah segala yang tercela, lawan baik, pantas, bagus, dan sebagainya. Perbuatan buruk berarti perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.”
Dari uraian diatas dapatlah dikemukakan, bahwa yang dikatakan dengan baik adalah apabila memberikan kenikmatan, kesenangan, kepuasan sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan yang dikatakan dengan buruk apabila dinilai sebaliknya.
Baik dan buruk itu sifatnya individual akan terpulang kepada orang yang menilainya, kesimpulan ini dikemukakan disebabkan baik dan buruk itu terikat pada ruang dan waktu, sehingga dia tidak berlaku secara universal.Suatu perbuatan itu dapat dinilai baik dan buruk, dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain:[2]
1.      Menurut Ajaran Agama
Standar baik dan buruk menurut ajaran dienul islam berbeda dengan ukuiran-ukuran lainnya, untuk melihat apakah sesuatu perbuatan itu baik atau buruk dapat dipegangi sebuah hasits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, yang mengemukakan sebagai berikut:“Sesungguhnya sesuatu perilaku/perbuatan itu tergantung kepada niatnya, dan perilaku/perbuatan itu dinilai berdasarkan niatnya.”
Selain disandarkan kepada niat, untuk menilai apakah sesuatu perbuatan itu baik atau buruk, juga harus diperhatikan kriteria “Bagaimana cara melakukan perbuatan itu?” Sebab, andai kata pun niat seseorang melakukan perbuatan itu baik, akan tetapi cara melakukannya salah, maka perbuatan itu tetap juga digolongkan kepada buruk, karena salah dalam mengaplikasikan niat baik tersebut.
Penggunaan kriteria cara melakukan perbuatan itu dapat dirujuk kepada ketentuan Al-Qur’an surat Q.S. Al-Baqarah ayat 263, yang artinya:“Perkataan yang baik dan pemberian maaflebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.”
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan, bahwa untuk mengukur apakah sesuatu itu dikategorikan kepada perbuatan baik atau perbuatan buruk adlah didasarkan kepada:
a.       Niat, yaitu sesuatu yang melatar belakangi (mendorong) lahirnya sesuatu perbuatan yang sering juga diistilahkan dengan kehendak.
b.      Dalam hal merealisasikan kehendak tersebut harus dilaksanakan dengan cara yang baik.
2.      Adat Kebiasaan
Kebiasaan ialah yang memberi pekerja sifat dan jalan yang tertentu dalam pikiran, keyakinan, keinginan dan percakapan. Kemudia, jika ia telah tercetak dalam sifat ini, ia sangat suka pada pekerjaannya, kecuali dengan kesukaran. Kekuatan kebiasaan ialah yang menjadikan orang-orang tua menolak pendapat dan penemuan baru, sedangkan manusia melihat pada angkatan muda cepat sekali memluk dan melakukan pendapat dan penemuan baru tersebut.
Hal itu karena orang-orang tua itu telah biasa dalam pikiran tertentu dan biasa menjalankannya sehingga tidak menyukai segala hal yang menyalahinya. Adapaun angkatan muda dan anak-anak belum membiasakan hal-hal tertentu dari pikirannya sehingga bersedia menerima apa yang terbukti kebenarannya.[3]
Setiap suku atau bangsa di dunia mempunyai adat istiadat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Barangsiapa patuh dan taat kepada adat istiadat tersebut maka orang lain yang bersangkutan dapat dipandang baik, dan sebaliknya bagi siapa yang melanggar adat istiadat tersebut, maka yang bersangkutan dipandang telah berbuat buruk. Jadi dapatlah dikatakan bahwa ukuran bak dan buruk itu tergantung kepada kesetiaan dan ketaatan seseorang (loyal) terhadap ketentuan adat istiadat.
Namun demikian dalam lapangan hukum hal ini tidaklah dapat diperpegangi sepenuhnya, sebab banyak dari ketentuan-ketentuan Hukum Adat (yang berasal dari adat istiadat) perintah dan larangannya itu irasional (tidak dapat diterima oleh akal sehat).
B.     Antara Etika dan Moral
Etika dapat diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral, filsafat moral, dan yang terpenting sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan manusia atau kelompok manusia dalam mengatur perilakunya. Nilai-nilai dan norma-norma moral tersebut merupakan kebiasaan yang menggambarkan perangai manusia dalam hidup bermasyarakat, dan perilaku baik-buruk, benar dan salah berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kebebasan kehendak.
Sementara, moral diartikan lebih sempit daripada etika. Secara etimologi, moral diartikan sama dengan etika, yang berupa nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan manusia atau kelompok dalam mengatur perilakunya. Nilai-nilai dan norma-norma itu menjadi ukuran moralitas perbuatan.[4]
Moral berasal dari bahasa latin, moralis; dari mos, moris = “adat istiadat”; “kebiasaan”; “cara”; “tingkah laku”. Moral bersangkutan dengan kegiatan manusia yang dipandang baik atau buruk, benar atau salah. Menyesuaikan dengan kaidah-kaidah yang diterima tentang apa yang dipandang baik (tindakan yang benar, adil, layak). Moral memiliki kapasitas untuk diarahkan oleh (dipengaruhi oleh) suatu kesadaran benar dan salah, dan kapasitas untuk mengarahkan (mempengaruhi) yang lain sesuai dengan kaidah tingkah laku yang nilai benar atau salah.[5]
Moralitas merupakan kualitas perbuatan manusia, dalam arti perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah. Moralitas perbuatan ditentukan oleh tiga faktor yaitu: motivasi, tujuan akhir, dan lingkungan perbuatan.
Tindakan moral memang berada dalam warna dan corak yang berbeda-beda, tetapi dalam konteks tujuan dan orientasi tidak berbeda karena sesuatu yang mengarah pada yang satu secara esensial adalah satu. Moralitas manusia tetap tidak bersifat plural. Pluralitas hanya terjadi dalam wilayah eksistensial manusia yang sarat dengan tendensi-tendensi yang sesungguhnya berada di luar watak hakiki manusia itu sendiri.
Selain itu, moral pada dasarnya merupakan semacam tindakan yang bercermin pada tindakan-tindakan yang ilahiah yang karenanya sasaran moral adalah berperilaku seperti perbuatan Tuhan. Mengingat perbuatan Tuhan selamanya tanpa pamrih, tentu pula kebaikan dan kebajikan moral yang sesungguhnya merupakan bagian integral dari nilai kebaikan dan kebajikan semua objek moral.
C.    Ajaran dan Tujuan Moral
Etika harus dibedakan dari moral. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat diantar sekelompok manusia, mengajarkan cara orang harus hidup, dan merupakan rumusan sistematis terhadap anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban manusia. Adapun etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaran moral.
Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan normamoral yang terdapat diantar sekelompok manusia. Nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia, sedangkan norma moral adalah bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi lebih baik sebagai manusia. Kebaikan moral merupakan kebaikan manusia sebagai manusia, sedangkan kebaikan pada umumnya merupakan kebaikan manusia dilihat dari satu segi saja. Moral berkaitan dengan moralitas.
Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket dan sopan santun. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama, atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber. Etika bukan sumber tambahan moralitas, melainkan merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral.[6]
Norma mengandung nilai universal dan berlaku bagi siapa saja, tetapi keegoisan jelas-jelas menyangkut hanya pada satu orang, yaitu kepentingan pribadi. “penghambaan” terhadap diri sendiri sering kali terjadi pada manusia yang tidak mengerti hukum moral.
Adapun pola hidup yang diajarkan Islam sangat berbeda. Bahwa seluruh kegiatan hidup sampai pada kematian sekalipun, semata-mata dipersembahkan hanya kepada Allah. Ucapan yang selalu dinyatakan dalam shalat, yaitu doa iftitah, merupakan bukti nyata bahwa etikaIslam adalah mendapatkan ridha Allah SWT, atau sering disebut dengan mardhatillah. Jika seorang muslim mencari rezeki, tujuannya bukanlah sekedar untuk mengisi perut bagi diri dan keluarganya. Pada hakikatnya, dia mempunyai tujuan yang lebih tinggi dan lebih mulia dari pada itu secara filosofis.
Dia mencari rezeki untuk memenuhi hajat hidupnya dan itu barulah tujuan yang dekat. Masih ada tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu mencari rezeki untuk mendapatkan makanan guna membina kesehatan rohani dan jasmani sedangkan tujuan membina kesehatan itu ialah supaya kuat beribadah dan beramal, yang dengan amal ibadah itulah, ia dapat mencapai tujuan yang terakhir, yakni ridha Allah SWT.[7]
Ridha Allah itulah yang menjadi kunci kebahagiaan yang kekal dan abadi ayng dijanjikan Allah dan yang dirindukan setiap manusia beriman. Tanpa ridha Allah, kebahagiaan abadi dan sejati (surga) tidak akan daat diraih oleh siapapun, dan panggilan ini dikemukan Allah dalam Al-Qur’an surat Q.S. Al-Fajr ayat 27-30, yang artinya:“Hai jiwa yang tenang.Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,dan masuklah ke dalam syurga-Ku.”
D.    Problematika Moral dan Profesi Manusia
Moral merupakan suatu tindakan yang berkaitan dengan baik dan buruk, salah dan benar.Dalam agama Islam, moralitas dapat diterjemahkan sebagai akhlak, yaitu suatu tindakan yang mengajarkan suatu ide perbuatan baik yang harus dipedomani dan dikerjakan maupun yang harus dihindari, terutama berkaitan dengan perbuatan jahat dalam hubungannya dengan Allah SWT, manusia, alam, dan kehidupan sehari-hari.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan dari manusia lainnya. Manusia tidak akan pernah bisa memenuhi segala kebutuhan hidupnya tanpa bantuan manusia yang lain. Oleh karena itu manusia selalu memadukan kontak dngan manusia yang lain. Agar tidak terjadi kekacauan dalam kehidupan bermasyarakat, segala tindakan atas hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, harus dilandasi dengan etika dan secara konkret harus diatur oleh norma-norma hukum tertentu.
Terhadap profesi-profesi yang terdapat dalam masyarakat dapat terjadi kemerosotan-kemerosotan dalam kegiatan dari para pengemban profesi itu, sebagai akibat dari pelanggaran etika dan kode etik profesi oleh sebagian pengemban profesi itu.Pelaksanaan suatu profesi harus berkaitan dengan etika dan kode etik profesi yang bersangkutan. Oleh karena itu, perlu bagi kita tentang kejelasan arti dan kata profesi tersebut.[8]
E.     Etika dan Moralitas Versus Kekuasaan Politik
Tuntutan pertama etika politik adalah “hidup baik bersama dan untuk orang lain”. Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warga negara. Politikus yang baik apabila ia jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum dan tidak memetingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etik politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.
Politik dipahami sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus.
Oleh sebab itu, dengan berbekal moralitas yang tinggi, seorang pejabat dalam mengeluarkan keputusan politik, diharapkan dapat berpihak dalam mengeluarkan keputusan politik, diharapkan dapat berpihak pada kemaslahatan, bukan kesengsaraan. Persoalannya saat ini adalah moralitas dan kepentingan politik merupakan bagian terpisah, yang keduanya berdiri pada dua kutub yang ekstrem.
Moralitas dengan berbagai kepasitasnya senantiasa berpihak pada kebaikan serta kebenaran, berdiri pada posisi normatif dan sakral. Adapun politik yangselalu mengagungkan kepentingan dan kekuasaan berdiri kukuh merelatifkan kebenaran serta kebaikan demi keuntungan pribadi atau kelompok.Dua hal yang berbeda dan berseberangan.
Dalam hal ini, moralitas pejabat negara dipertaruhkan pada realitas sosial di masyarakat. Selama moralitas dan politik berada pada posisi yang berlawanan, sampai kapanpun kebenaran dan kebaikan universal sulit ditegakkan. Berbagai kasus penyimpangan moral yang dilakukan para pejabat negara, tidak akan pernah sampai pada jeruji tahanan, kecuali ada kepentingan politik didalamnya.[9]


BAB 3
KESIMPULAN
1.   Baik adalah sesuatu hal dikatakan baik, bila ia mendatangkan rahmat, dan memberikan perasaan senang atau bahagia, jadi sesuatu yang dikatakan baik bila ia dihargai secara positif. Sedangkan buruk adalah segala yang tercela, lawan baik, pantas, bagus, dan sebagainya. Perbuatan buruk berarti perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.
2.      Tujuan yang tinggi dan mulia dari ajaran moral secara filosofis yakni Ridha Allah SWT.
3.  Terhadap profesi-profesi yang terdapat dalam masyarakat dapat terjadi kemerosotan-kemerosotan dalam kegiatan dari para pengemban profesi itu, sebagai akibat dari pelanggaran etika dan kode etik profesi oleh sebagian pengemban profesi itu 

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Nuh,Muhammad, Etika Profesi Hukum, Bandung: Pustaka Setia. 2011
Lubis,Suhrawardi K, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. 1994
Pramudya,Kelik, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 2010
Mudhofir,Ali, Kamus Etika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009
Alfan,Muhammad, Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia. 2011





[1]Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum, Bandung: Pustaka Setia. 2011, hlm. 53-55
[2]Suhrawardi K Lubis, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. 1994, hlm. 38-41
[3]Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia. 2011, hlm. 82-83
[4]Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmoko, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 2010, hlm. 6
[5]Ali Mudhofir, Kamus Etika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009, hlm. 352-353
[6]Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum, Bandung: Pustaka Setia. 2011, hlm. 60
[7]Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia. 2011, hlm. 43
[8]Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum, Bandung: Pustaka Setia. 2011, hlm. 59-60
[9]Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia. 2011, hlm. 278-281

No comments:

Follow Us @cha2kiyut