Selalu Sertakan Allah Dalam Setiap Langkah Kaki Berpijak

Wednesday, 29 March 2017

Ceritaku


Haqiqat Seorang Pemenang 

Sepasang mata saling berpandangan dan melirik. Sesekali mereka saling melemparkan percakapan yang entah tak bermakna dan tak terdengar oleh telinga. Lalu lalang manusia berjalan kesana-kemari tak banyak peduli. Hanya terkadang ada satu dua orang yang mau berhenti sejenak untuk menanyakan ada sesuatu apa disana?
Aku masih tetap tak peduli. Posisiku masih seperti semula, belum berubah maupun berpindah. Dan aku masih tetap dalam posisi diamku.
Waktu terus berjalan, jarum jam terus berputar. Detik waktu hampir tak pernah berhenti berbunyi. Andai waktu sekarang ini terhenti walau hanya sejenak. Andai jarum jam itu berhenti sebentar dari putarannya.
Aku memandang ke bawah, tepat diatas telapak kakiku. Sandal jepit warna hijau tua yang aku kenakan sudah mulai aus dimakan usia. Warna putihnya sudah terlihat seperti warna abu-abu.
Panas terik matahari mulai menyengat kulitku. Pancaran sinarnya yang menyilaukan mata, membuat semua kepala menjadi tunduk tak berdaya. Angin kering juga tak kalah menyeringai melewati pipiku membawa taburan debu dan pasir didalamnya.
“Hasan. Ta’ala[1]!” Suara itu memanggilku. Aku berbalik dan mendekati sumber suara itu. Mataku masih melihat ke bawah kaki ku, menunduk.
Hadzihi li akhiri marroh. La tu’id ma amilta,[2] ya akhi!.” Aku hanya bisa mengangguk tanda patuh. “Irji’![3] Kalimat akhir ini sebagai tanda berakhirnya persidangan siang itu.
Aku berbalik dari hadapan pemilik suara yang menjadi lawan bicaraku, lawan bicara yang sama sekali tidak bisa aku balas semua pertanyaannya. Ya, dia adalah Bagian Penggerak Bahasa Pusat. Salah satu bagian dari Organisasi Pelajar Pondok Mujahidin yang sering disingkat OPPM.
Satu bagian yang memang dari pertama kali aku memasuki Pondok Mujahidin ini tidak pernah sekalipun aku menyukainya. Satu bagian yang selalu membuatku ketakutan. Satu bagian yang membuat mulutku selalu bergetar dalam pengucapan. Satu bagian yang selalu menegakkan aturan dan peraturan di Pondok Mujahidin ini terutama tentang bahasa resmi Pondok ini. Bahasa Arab.
Berawal dari satu kejadian didepan Gedung Utama, seorang santri berdiri tegak dengan papan besar didepannya. Tertulis jelas apa yang terukir diatasnya, kalimat dengan Bahasa Arab yang diukir rapi menggunakan khat riq’ah[4], "نطقتُ إندونيسيةً".
“Hasan!” Satu panggilan membuyarkan lamunanku. Aku langsung mengusap mukaku dengan kedua telapak tanganku dan beristighfar, “Astaghfirullahal‘adzim.”
“Madza hashola laka, ya akhi?[5] Fauzan teman baru sekaligus teman satu bagian denganku bertanya kepadaku. Aku sedikit bingung ingin menjawab dengan jawaban yang seperti apa. Aku hanya menggeleng sambil melemparkan senyuman ke arahnya.
Setelah keluar dari Gedung Utama, aku langsung berjalan menuju ke kamarku. Dengan masih membawa selembar surat yang membuatku gelisah, cemas, dan khawatir setelah membacanya. Aku berjalan kedepan, namun mataku melihat kebawah, ke arah tanah yang mana aku ijakkan kaki diatasnya.
Beberapa orang hampir bertabrakan denganku, namun mereka segera sadar bahwa ada aku yang sedang berjalan didepan mereka tanpa melihat kedepan.
Dalam perjalanku, aku terus berpikir dan merenung dalam-dalam. Inilah ketakutanku yang dahulu. Rasa takut yang selama ini cukup membuatku trauma. Dan inilah ketakutanku, yang bahkan aku tidak tahu bagaimana menghadapinya.
Memang hal terberat dalam menghadapi segala kegiatan di Pondok ini adalah memegang sebuah amanat. Sebuah kepercayaan yang diberikan oleh Bapak Pengasuh kepada santri-santrinya. Amanah yang tak bisa kita tolak sembarangan. Karena pasti ada pertimbangan dan pemilihan sebelum amanah itu diberikan.
Hatiku terasa berat sekarang, hatiku mulai merasakan kebimbangan. Sedari awal aku masuk Pondok ini, baru kali ini merasakan beratnya menggenggam amanah ini. Amanah untuk menjadi Bagian Penggerak Bahasa Pusat.
Salah satu kekuatan penggerak di Pondok Mujahidin ini adalah gerakan dalam organisasi. Satu organisasi ini yang membantu Pondok menertibkan peraturan dan menegakkan hukum di Pondok.
Menjadi salah satu pengemban amanah itu, merupakan satu beban bagiku. Beban yang terkadang menyesakkan hati dan pikiranku. Karena bukan hanya diri sendiri yang aku perhatikan, namun urusan umat juga harus diperhatikan.
“Hasan? Mabruk[6] ya sudah menjadi pengurus OPPM. Kamu menjadi bagian apa sekarang?” Tanya Sholihin, sahabat karibku. Aku hanya tersenyum tipis. Betapa senangnya dia melihat diriku yang merasakan jadi pengurus OPPM. Tapi jika dia mengetahui bagian apa diriku, pasti dia akan langsung tutup mulut.
Anta[7] pindah kamar ke mana? Biar ana[8] bantu perpindahannya.” Solihin menawarkan bantuan yang memang aku sangat membutuhkan bantuan itu.
Antaqilu ila hujroh sabi’ah Aligart[9].” Aku menjawab singkat.
Astaghfirullahal‘adzim. Anta qismu tarqiyatul lughoh al-markazi?[10]” Benar dugaanku. Solihin kaget karena mengetahui bahwa aku menjadi bagian penggerak bahasa pusat.
Semenjak percakapan singkat tadi, Sholihin yang biasanya cerewet dengan cerita-cerita gokilnya, menjadi sedikit diam dan hanya bertanya apa adanya. Aku menjadi tidak enak hati kepadanya sebagai sahabat karib, dan juga teman curhat di setiap potongan-potongan episode cerita kita masing-masing.
Dengan berat hati aku meninggalkan anggota kamarku dan berpindah ke bagian organisasi. Yang paling berat adalah aku meninggalkan sahabat karibku, Sholihin. Karena tuntutan tugas dan amanah dari Pondok, aku harus mengorbankan sedikit kehidupanku yang menyenangkan bersamanya.
***
Waktu terus berjalan, dan jarum jam tak pernah berhenti berputar. Sudah satu minggu aku menjalankan amanah sebagai Bagian Penggerak Bahasa Pusat. Dan dalam waktu seminggu pula aku belum berani menampakkan diri keluar kamar jauh-jauh. Karena aku tak mau mendengarkan celotehan santri-santri yang suka berbicara menggunakan bahasa Indonesia diam-diam.
Dan hari ini, aku memutuskan untuk pergi keluar sebentar. Bukan untuk mencari mangsa dan dijadikan bahan persidangan seperti teman-teman satu bagianku. Tapi untuk mencari udara segar sambil menikmati udara sore hari yang sejuk. Udara ini yang sering aku hirup bersama dengan Solihin, sambil menghafalkan pelajaran Muthola’ah. Indah sekali rasanya waktu itu.
Sayangnya, semenjak menjadi salah satu bagian dari OPPM, ada satu peraturan bahwa santri yang menjadi bagian organisasi tidak boleh bermain di rayon dan kamar-kamar lain. Itu sudah peraturan, dan aku harus mentaatinya.
Aku berjalan ke arah Masjid, di sebelah selatan Masjid ada satu taman yang indah dan sejuk. Sangat nyaman untuk menikmati indahnya pemandangan alam disekitarnya sambil menghafalkan beberapa judul pelajaran.
Sebuah batu besar yang tertancap di taman itu, cukup nyaman untuk di duduki diatasnya. Akupun duduk sejenak disana dan mulai memandang alam sekitar. Subhanallah, sungguh indah pemandangan sore ini.
Ditengah-tengah ketenangan itu, sayup-sayup aku mendengar perbincangan antara dua orang menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa yang seharusnya tidak boleh digunakan di Pondok ini, selain Bahasa Arab. Aku langsung menoleh dan memanggil dua orang tersebut.
Madza takallamtuma? Wa ayyati lughotin istakhdamtuma?[11]” Aku respek melontarkan kata-kata pertanyaan yang membuat bombastis pembicara.
Ternyata pertanyaanku kepada mereka berdua begitu tampak mengagetkan. Sehingga secara refleks mereka menundukkan kepala tanda bersalah. Aku mulai bingung dan berpikir, apa yang selanjutnya harus aku katakan?
Ajib[12], ya Akhi!” Hanya itu kalimat selanjutnya yang bisa aku keluarkan dari bibir ini.
Asta’fikum, ya akhi? Nathoqna ‘arobiyatan fii muhadatsatina.[13]” Dengan sangat pelan, dia menjawab. Sehingga membuatku sedikit tidak tega jika ingin melanjutkan persidangan di tempat itu.
Pikiranku terbang pada ingatanku tiga tahun yang lalu. Ketika pertama kali aku mendapatkan hukuman dari Bagian Penggerak Bahasa Pusat. Sebenarnya bukan kalimat Bahasa Indonesia yang aku katakan. Tetapi, betapa kakak kelas itu tidak mau mendengarkan jawaban dan penjelasan dariku. Aku tidak ingin hal seperti itu terjadi.
Ayyatu kalimatin takalamtuma?[14]” Perkataanku sedikit rendah, setelah dari tadi aku menekankan kalimat-kalimatku didepan mereka berdua.
Bibir salah satu santri itu bergetar sambil mengucapkan. “Ayyu makan.”
Mataku mengeryit, tanda bahwa aku sedang berpikir sejenak. Ayyu makan[15] atau ayyo makan? Memang kalimat ini hampir mirip dalam perkataan dan pengucapannya. Makan dalam arti bahasa arab adalah dimana.
Ingatanku kembali melayang pada kejadian tiga tahun lalu. Ketika aku harus menjalankan hukuman tanpa kesalahan yang aku lakukan. Ya, dijemur di depan Gedung Utama dengan sebuah papan tulis di depanku.
Aku tidak mau kejadian yang telah menyakitkan dan menyiksa batinku terjadi pada orang lain. Kedzoliman yang aku rasakan, tidak akan aku ulang kembali pada orang lain. Dan sekarang aku mengalami kejadian yang sama seperti pada waktu itu.
Hanya satu yang berbeda. Aku memilih untuk bersikeras tidak mau mendengarkan alasan mereka dan tetap menyalahkan dua santri yang sekarang ada didepanku. Atau aku mendengarkan perkataan dan pengakuan mereka apa adanya. Entah mungkin ternyata mereka berbohong untuk menutupi kesalahan mereka, atau tidak.
Kali ini aku sedikit dilema. Dilema dalam persidangan. Satu sisi, aku yang mendapatkan amanah sebagai Bagian Penggerak Bahasa Pusat. Tapi, di sisi lain aku harus mempunyai wajah keadilan dan hati nurani dalam setiap keputusan. Bukan mengedepankan ego dan haibah agar martabat tidak jatuh di depan santri, atau pelanggar bahasa.
Satu detik berlalu, satu menit berjalan. Dan aku masih diam. Mataku terpejam, hatiku membisu. Pikiranku melayang teringat akan kenangan dan bayang-bayang kedzoliman. Hingga akhirnya aku mulai membuka mulut untuk mengeluarkan keputusan untuk dua santri yang sekarang tengah berdiri menunduk di depanku.
Toyyib. Istikhdamu-l-lughoh al-‘arabiyah fii-l muhadatsah ahsan. Liana lughota-l ‘arabiyah hiya lughotu ahli-l jannah.[16]” Dengan tegas dan berwibawa akhirnya aku mengeluarkan semua perkataan yang ada di dalam benakku. Kemudian beranjak pergi meninggalkan mereka dengan senyuman di pipi.
Aku kembali mengingat pesan singkat dari Bapak Pengasuh ketika pelantikan pengurus Organisasi Pelajar Pondok Mujahidin ini.
Bahwa orang yang berbudi tinggi dan berjiwa besar adalah mereka yang berani mengambil keputusan bijak dengan berwibawa. Bukan mengedepankan ego dalam diri sendiri. Dan bertindak sewenang-wenang karena mendapatkan jabatan dalam sebuah organisasi.
Karena seorang pemenang adalah orang yang mau mengakui kesalahannya, dan yang mau memaafkan kesalahan orang lain. Dan seorang pemenang adalah orang yang selalu bersabar dan bersyukur dalam setiap cobaan serta ujian yang dihadapinya. Membalas semua cobaan dengan senyuman. Dan menerima segala ujian dengan kelapangan.
Ya, dialah pemenang kehidupan.



[1] Datanglah
[2] Ini adalah yang terakhir kalinya. Jangan diulangi kembali apa yang sudah kamu lakukan!
[3] Kembalilah!
[4] Sejenis gaya khat yang dirancang oleh orang Turki pada zaman pemerintahan Utsmaniyah (850H)
[5] Apa yang kamu keluhkan?
[6] Selamat
[7] Kamu (laki-laki)
[8] Aku
[9] Aku pindah ke kamar tujuh Gedung Aligart
[10] Kamu menjadi Bagian Penggerak Bahasa Pusat?
[11] Apa yang kalian berdua bicarakan?? Dan bahasa apa yang kalian pergunakan?
[12] Jawablah!
[13] Kami minta maaf, Kak? Kami berbicara dengan bahasa arab dalam percakapan.
[14] Kalimat apa yang kalian katakan?
[15] Dimanapun
[16] Baiklah. Menggunaan bahasa arab dalam percakapan itu lebih baik. Karena bahasa arab itu adalah bahasa para penghuni surga.

No comments:

Follow Us @cha2kiyut