Sam’an wa Tho’atan
Gumpalan awan putih bergulung menjadi satu diufuk barat,
menyatukan kemegahan hingga tercipta mega merah yang indah nan mempesona.
Menyejukkan mata untuk bisa menikmati indahnya karunia Illahi saat ini.
Menenteramkan hati untuk selalu bersyukur dan berdzikir kepada Sang Kholiq,
yang telah menciptakan jagat raya seisinya ini.
Mega merah yang merekah di ufuk barat serta angin malam
yang mulai berhembus membawa hawa dingin, menandakan bahwa telah masuknya waktu
maghrib. Sayu-sayu terdengar lantunan adzan maghrib dari berbagai penjuru,
terlontar keras dari menara-menara masjid. Salah satunya adalah Masjid Akbar,
masjid yang menjadi titik pusat peradaban di Pondok Ma’hadi.
Pondok Ma’hadi adalah salah satu pondok di Kalimantan
Tengah. Pondok yang berdiri dibawah naungan Bapak Pengasuh Ustadz Lillahi
Karom. Beliau adalah lulusan Universitas Al-Azhar Mesir, dan pulang ke
Indonesia mendirikan pondok untuk menyalurkan ilmu dan pengetahuan yang Beliau
tanam selama mengenyam pendidikan disana.
Pondok ini masih seumuran dengan umur jagung, masih
sangat muda sekali. Namun, santri yang mondok disini lumayan banyak, bahkan
dari luar Kalimantan Tengahpun juga ada.
Kegiatan di Pondok Ma’hadi ini adalah belajar tilawatil
Qur’an, dan juga untuk program menghafal al-Qur’an. Pondok ini memang didesain
untuk santri yang ingin mempelajari dan memperdalam al-Qur’an dari hukum
tajwidnya, dari cara bacaannya, qira’ahnya, tilawahnya, sampai menghafalnya.
Kebiasaan yang menjadi rutinitas setiap tahun adalah
penerimaan santri baru untuk yang ingin mondok di Pondok Ma’hadi ini.
Pengajaran dan bimbingan dilakukan ekstra lebih untuk mereka yang ingin belajar
menuntut ilmu di Pondok Ma’hadi.
“Pak Kyai? Kenapa
kita harus belajar al-Qur’an sampai dalam sekali, padahal jika kita tahu makna
dan artinya serta bisa membacanya itu kan sudah cukup?” Tanyaku kepada Abah.
Beliau hanya menjawab dengan senyuman tipis.
Karena tak ada jawaban yang aku terima, aku melanjutkan
aktivitasku dan meneruskan bacaan Al-Qur’an ku.
Pada seperempat malam, sekitar pukul tiga dini hari.
Seluruh santri sudah wajib bangun pagi untuk shalat malam dan juga dzikir
bersama. Untuk menyambut datangnya waktu subuh, santri senior sudah mulai
menghafalkan ayat-ayat suci al-Qur’an. Sedangkan untuk santri junior,
diforsirkan untuk dzikir bersama.
“Pak Kyai? Kenapa kita harus bangun dini hari sekali
untuk sholat malam, padahal kita mendirikan sholat lima waktu sudah cukup?” Tanyaku
lagi kepada Abah. Dan lagi-lagi Beliau menjawab dengan senyuman tipis.
Aku hanya bisa tercengang sesaat, karena dari semalaman aku
bertanya pada Abah dan sama sekali tidak ada jawaban yang bisa menghilangkan
rasa penasaran ini. Dan hanya terjawab dengan sebuah tarikan senyuman di wajah
Abah.
Bahrul Ulum adalah namaku. Nama yang diberikan untukku
entah sejak kapan itu. Semenjak kecil aku tinggal di Pondok Ma’hadi ini dengan
ibu pengasuh yaitu istri Pak Kyai, Hasanah Amalia. Semua santri di Pondok
memanggil ibu pengasuh dengan panggilan Ibu Amal, ya beliau adalah ibu pengasuh
sekaligus ibu angkatku.
Kini usiaku menginjak pada angka 10 tahun, angka yang
mana sudah bukan angka kecil lagi. Itu membuat diriku harus belajar dan
mengikuti berbagai kegiatan yang ada di Pondok Ma’hadi ini. Walaupun masih ada
keringanan dan dispensasi untukku.
Dan hari ini, tepat hari sabtu. Hari dimana dimulainya
seluruh kegiatan setelah berakhirnya hari libur pada hari jum’at. Dan hari ini
juga, tepat pertama kalinya aku mengikuti kegiatan di Pondok Ma’hadi untuk
menjadi santri di Pondok ini.
Walaupun ketika dirumah, aku memanggil bapak pengasuh dengan
sebutan Abah, namun ketika memasuki kawasan Pondok, aku tetap memanggil Abah
seperti santri yang lainnya, Pak Kyai.
“Ulum?!” Seseorang memanggilku dari kejauhan. Aakupun
tidak asing dengan suara itu dan seketika menoleh kebelakang.
“Mbak May. Sudah pulang kah?” Tanyaku kepada kakak
angkatku, putri dari Pak Kyai pengasuh Pondok Ma’hadi ini. Maysarah namanya.
“Kamu sedang apa disini? Mau ganggu ngajinya
santri-santri ya?” Celetuk Mbak May kepadaku, karena memang kebiasaanku dulu
mengganggu santri-santri yang sedang mengaji.
“Enggak kok Mbak. Sekarang aku mau belajar ngaji juga.
Biar pinter seperti santri-santri yang lama.” Kataku asal-asalan. Padahal masih
banyak pertanyaan yang ingin aku utarakan, masih banyak kalimat dari kata
kenapa dan mengapa untuk harus aku ketahui dan pelajari.
Mbak May tidak mau berlama-lama mengobrol denganku,
karena mungkin banyak kesibukan dan pekerjaan yang harus dia selesaikan setiap
harinya. Mbak May adalah bagian administrasi dan juga bimbingan Pondok Ma’hadi
ini. Karena Mbak May adalah putri satu-satunya Bapak Pengasuh, maka dari kecil
sudah diberikan bekal untuk nantinya meneruskan estafet perjuangan Pondok
Ma’hadi ini.
Walaupun umurku masih dibilang terlampau jauh berbeda
dengan Mbak May, namun aku banyak mengamati dan melihat apa saja yang ada di
sekitar Pondok. Juga kegiatan dan rutinitas yang selalu menyibukkan seluruh
santri dan juga Pak Kyainya.
Abah adalah seorang hafidz Al-Qur’an 30 juz, Ibu Amal
juga. Mbak May pun juga tidak berbeda. Sejak lulus Sekolah Dasar sudah
menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya 30 juz. Sedangkan aku? Apa kelebihanku?
Sesuatu apa yang dapat aku banggakan? Sepertinya aku tak punya kelebihan dan
keistimewaan.
Aku menendang-nendang batu-batu kecil disekitar halaman
Pondok. Kegalauan dan keresahan mulai merasuk kedalam hati dan meracuni
pikiranku. Terkadang muncul perasaan dan pertanyaan dalam benakku. Aku utarakan
semuanya, namun tak ada jawaban yang bisa membuat hatiku ini tenang dan puas
akan pertanyaanku.
Teng... Teng... Teng...
Bunyi lonceng membuyarkan lamunanku, dan bergegas kembali
ke Masjid Akbar, untuk melanjutkan kegiatan yang selanjutnya. Tadarus
Al-Qur’an.
Aku sedikit berlari agar sampai disana tidak terlambat.
Karena biasanya aku melihat santri yang terlambat akan diberikan hukuman oleh
Pak Kyai, dan aku tidak mau menerima hukuman itu juga dari Abah.
Nafasku tersenggal-senggal, setelah memasuki masjid aku
langsung mengambil posisiku diujung untuk kenyamanan tadarus Al-Qur’an.
Tiba-tiba sebuah suara negurku.
“Ulum? Kemari nak!” Abah memanggilku, aku langsung
mendekat dan menunaikan panggilan itu. “Ada apa, Pak Kyai?” Tanyaku spontan.
“Sudahkah kamu sholat sunnah dua raka’at setelah memasuki
masjid?” Aku sedikit kaget dengan pertanyaan Abah, dan dengan polosnya aku menjawab
“Belum, Pak Kyai.” Abah membalas jawabanku, lagi-lagi dengan senyuman tipis di
atas raut wajahnya.
Aku langsung mengundurkan diri, mengambil air wudhu lalu
mendirikan sholat sunnah. Yang entah, aku tahu tahu sholat apakah ini yang
harus aku niatkan? Sholat sunnah apa ini?
Selang beberapa jam setelah pertanyaan Abah tadi, aku
mendekati Abah dan sekali lagi, aku ingin menghapus rasa penasaranku dengan
bertanya kepada Abah. Dan yang aku inginkan kali ini, adalah jawaban yang
memuaskan dari Abah.
“Pak Kyai? Sholat apakah yang dilakukan pagi-pagi seperti
tadi? Bukankah sudah cukup melakukan sholat lima waktu yang diwajibkan?”
Pertanyaanku semakin lama semakin tidak tertata, mungkin Abah berpikir kenapa
aku masih ingin belajar disini jika disetiap apa yang aku lakukan aku selalu
mengeluh dan mengadu. Dan untuk yang kesekian kalinya, Abah menjawab lagi
dengan senyuman tipis di wajahnya.
Jarum jam terus berputar, detik waktu terus berjalan,
matahari mulai menjauh dari timur dan menuju ke persinggahan di ujung barat. Dari
pagi hari yang elok, berganti menjadi siang yang panjang. Hingga kini, aku siap
menyambut datangnya senja.
Melelahkan ternyata, padahal baru satu hari aku melakukan
aktivitas dan kegiatan seperti santri di Pondok Ma’hadi ini. Namun, aku tak
boleh menyerah untuk membuktikan pada Ibu, bahwa aku juga ingin belajar dan
pintar seperti Mbak May.
Aku merenung di sudut Masjid. Ku pandangi jendela yang
memantulkan cahaya dari luar, hingga bisa mau ke pelataran masjid dengan
terangnya. Aku mulai membuka Al-Qur’an yang sedari tadi sudah ada ditanganku,
tapi aku enggan untuk membukanya. Hanya kupandangi tanpa aku baca dan aku
perhatikan kalimat-kalimat indah dari ayat-ayat itu. Aku menghela nafas
panjang.
Derap langkah kaki mendekatiku. Sepertinya aku tidak
asing dengan langkah kaki ini. Ya, langkah kaki Abah.
“Abah?” Aku spontan menyapa. Abah membalas dengan senyum
di wajahnya. Senyum yang menentramkan, namun membawaku pada rasa penasaran yang
lebih dalam. Karena hanya senyumanlah yang menjadi jawabanku selama seharian
tadi.
“Ulum? Bagaimana? Apakah kamu masih mau melanjutkan
belajar di Pondok? Atau Abah carikan sekolah umum? Kamu memilih yang mana?”
Abah langsung mengutarakan pertanyaannya kepadaku.
“Ulum masih penasaran dengan pertanyaan Ulum tadi pagi?
Kenapa Abah hanya menjawab semuanya dengan senyuman?” Aku jujur mengatakan
keresahan dan rasa penasaran yang berkecamuk dalam hari.
“Bukankah kamu sudah berjanji pada Abah untuk mengikuti
semua kegiatan disini tanpa mempertanyakan apapun?” Abah kembali mengingatkanku
pada perjanjian kita berdua sebelum aku mencoba untuk belajar di Pondok Ma’hadi
ini. Dan aku hanya bisa menunduk, menganggguk dan mengiyakan semuanya.
“Baiklah, Abah akan menjawab semuanya. Dengan syarat kamu
harus melanjutkan belajarmu disini. Dan tidak akan mengajukan pertanyaan lagi.
Cukup sam’an wa tho’atan. Janji??” Kata Abah, aku mengangguk dengan
penuh kegembiraan dalam hatiku.
“Allah Subhanahu wata’ala menurunkan
banyak kitab-kitab suci. Sebelum turunnya Al-Qur’an, masih ada 3 kitab yang
lainnya, Zabur, Taurat, dan Injil. Namun, kitab-kitab tersebut diturunkan hanya
untuk umat pada zaman itu saja. Berbeda dengan Al-Qur’an, kitab ini diturunkan
untuk seluruh umat manusia di dunia dari zaman Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wassalam sampai sekarang ini, bahkan hingga nanti hari kiamat
datang.”
“Betapa mulianya orang yang bisa menghafalkan
Al-Qur’an. Dia akan ditinggikan derajatnya oleh Allah Subhanahu wata’ala,
dan akan mendapatkan jaminan surga di akhirat nanti. Kamu mau, nak?” Aku
mengangguk dengan senang karena pertanyaan pertamaku terjawab sudah.
“Kita hidup didunia ini sebagai manusia biasa, bukan
sebagai Nabi apalagi sebagai Malaikat. Makanya, manusia masih sangat
membutuhkan banyak pertolongan dan pengampunan dari Allah Subhanahu wata’ala.
Ibadah yang paling utama setelah sholat fardhu adalah sholat tahajjud. Sholat
yang dilakukan pada waktu sepertiga malam.”
“Barang siapa yang mendirikan sholat malam, maka Allah
akan meninggikan derajatnya sampai derajat al-muqqarabuun atau dekat
dengan Allah Subhanahu wata’ala. Segala doa dan ampunan pasti akan
dikabulkan. Apakah kamu mau semua cita-cita dan keinginan kamu dikabulkan,
nak?” Abah memandangku dengan penuh keteduhan, spontan aku mengangguk tanpa
keraguan. Pertanyaanku terjawab lagi.
“Hidup itu penuh dengan warna-warni kehidupan yang
dilalui untuk bisa mencapai apa yang dia inginkan. Cobaan, godaan dan ujian
bisa datang dari berbagai sisi. Sholat Dhuha adalah sholat sunnah yang
dilakukan pada saat matahari mulai beranjak tinggi sampai mendekati posisi
tengah.”
“Barang siapa yang rutin melakukan sholat dhuha, maka
derajatnya akan ditinggikan setara dengan awwabin atau orang-orang yang
taat. Dia akan selalu dalam penjagaan dan perlindungan Allah Subhanahu
wata’ala sepanjang hari. Kamu mau nak rutin melakukan sholat dhuha?” Sekali
lagi Abah meyakinkanku untuk tetap tinggal di Pondok. Dan aku mengangguk tanpa
ragu-ragu, pertanyaanku terjawab kembali.
Dari kini aku menyadari, bahwa ternyata kegiatan dan
aktivitas di pondok manapun itu seperti di Pondok Ma’hadi ini telah disusun dan
dirancang sedemikina rupa. Bukan hanya kesuksesan dunia saja yang dicari, namun
kesuksesan di akhirat itu yang lebih utama. Karena dunia ini fana, tidak
kekal abadi. Suatu ketika kita akan meninggalkannya entah kapan waktunya dan
dimana tempatnya. Wallahu a’lam bishowab.
No comments:
Post a Comment