Selalu Sertakan Allah Dalam Setiap Langkah Kaki Berpijak

Wednesday, 1 March 2017

Cerpenku


Sam’an wa Tho’atan


Gumpalan awan putih bergulung menjadi satu diufuk barat, menyatukan kemegahan hingga tercipta mega merah yang indah nan mempesona. Menyejukkan mata untuk bisa menikmati indahnya karunia Illahi saat ini. Menenteramkan hati untuk selalu bersyukur dan berdzikir kepada Sang Kholiq, yang telah menciptakan jagat raya seisinya ini.


Mega merah yang merekah di ufuk barat serta angin malam yang mulai berhembus membawa hawa dingin, menandakan bahwa telah masuknya waktu maghrib. Sayu-sayu terdengar lantunan adzan maghrib dari berbagai penjuru, terlontar keras dari menara-menara masjid. Salah satunya adalah Masjid Akbar, masjid yang menjadi titik pusat peradaban di Pondok Ma’hadi.

Pondok Ma’hadi adalah salah satu pondok di Kalimantan Tengah. Pondok yang berdiri dibawah naungan Bapak Pengasuh Ustadz Lillahi Karom. Beliau adalah lulusan Universitas Al-Azhar Mesir, dan pulang ke Indonesia mendirikan pondok untuk menyalurkan ilmu dan pengetahuan yang Beliau tanam selama mengenyam pendidikan disana.

Pondok ini masih seumuran dengan umur jagung, masih sangat muda sekali. Namun, santri yang mondok disini lumayan banyak, bahkan dari luar Kalimantan Tengahpun juga ada.

Kegiatan di Pondok Ma’hadi ini adalah belajar tilawatil Qur’an, dan juga untuk program menghafal al-Qur’an. Pondok ini memang didesain untuk santri yang ingin mempelajari dan memperdalam al-Qur’an dari hukum tajwidnya, dari cara bacaannya, qira’ahnya, tilawahnya, sampai menghafalnya.

Kebiasaan yang menjadi rutinitas setiap tahun adalah penerimaan santri baru untuk yang ingin mondok di Pondok Ma’hadi ini. Pengajaran dan bimbingan dilakukan ekstra lebih untuk mereka yang ingin belajar menuntut ilmu di Pondok Ma’hadi.

 “Pak Kyai? Kenapa kita harus belajar al-Qur’an sampai dalam sekali, padahal jika kita tahu makna dan artinya serta bisa membacanya itu kan sudah cukup?” Tanyaku kepada Abah. Beliau hanya menjawab dengan senyuman tipis.

Karena tak ada jawaban yang aku terima, aku melanjutkan aktivitasku dan meneruskan bacaan Al-Qur’an ku.

Pada seperempat malam, sekitar pukul tiga dini hari. Seluruh santri sudah wajib bangun pagi untuk shalat malam dan juga dzikir bersama. Untuk menyambut datangnya waktu subuh, santri senior sudah mulai menghafalkan ayat-ayat suci al-Qur’an. Sedangkan untuk santri junior, diforsirkan untuk dzikir bersama.

“Pak Kyai? Kenapa kita harus bangun dini hari sekali untuk sholat malam, padahal kita mendirikan sholat lima waktu sudah cukup?” Tanyaku lagi kepada Abah. Dan lagi-lagi Beliau menjawab dengan senyuman tipis.

Aku hanya bisa tercengang sesaat, karena dari semalaman aku bertanya pada Abah dan sama sekali tidak ada jawaban yang bisa menghilangkan rasa penasaran ini. Dan hanya terjawab dengan sebuah tarikan senyuman di wajah Abah.

Bahrul Ulum adalah namaku. Nama yang diberikan untukku entah sejak kapan itu. Semenjak kecil aku tinggal di Pondok Ma’hadi ini dengan ibu pengasuh yaitu istri Pak Kyai, Hasanah Amalia. Semua santri di Pondok memanggil ibu pengasuh dengan panggilan Ibu Amal, ya beliau adalah ibu pengasuh sekaligus ibu angkatku.

Kini usiaku menginjak pada angka 10 tahun, angka yang mana sudah bukan angka kecil lagi. Itu membuat diriku harus belajar dan mengikuti berbagai kegiatan yang ada di Pondok Ma’hadi ini. Walaupun masih ada keringanan dan dispensasi untukku.

Dan hari ini, tepat hari sabtu. Hari dimana dimulainya seluruh kegiatan setelah berakhirnya hari libur pada hari jum’at. Dan hari ini juga, tepat pertama kalinya aku mengikuti kegiatan di Pondok Ma’hadi untuk menjadi santri di Pondok ini.

Walaupun ketika dirumah, aku memanggil bapak pengasuh dengan sebutan Abah, namun ketika memasuki kawasan Pondok, aku tetap memanggil Abah seperti santri yang lainnya, Pak Kyai.

“Ulum?!” Seseorang memanggilku dari kejauhan. Aakupun tidak asing dengan suara itu dan seketika menoleh kebelakang.

“Mbak May. Sudah pulang kah?” Tanyaku kepada kakak angkatku, putri dari Pak Kyai pengasuh Pondok Ma’hadi ini. Maysarah namanya.

“Kamu sedang apa disini? Mau ganggu ngajinya santri-santri ya?” Celetuk Mbak May kepadaku, karena memang kebiasaanku dulu mengganggu santri-santri yang sedang mengaji.

“Enggak kok Mbak. Sekarang aku mau belajar ngaji juga. Biar pinter seperti santri-santri yang lama.” Kataku asal-asalan. Padahal masih banyak pertanyaan yang ingin aku utarakan, masih banyak kalimat dari kata kenapa dan mengapa untuk harus aku ketahui dan pelajari.

Mbak May tidak mau berlama-lama mengobrol denganku, karena mungkin banyak kesibukan dan pekerjaan yang harus dia selesaikan setiap harinya. Mbak May adalah bagian administrasi dan juga bimbingan Pondok Ma’hadi ini. Karena Mbak May adalah putri satu-satunya Bapak Pengasuh, maka dari kecil sudah diberikan bekal untuk nantinya meneruskan estafet perjuangan Pondok Ma’hadi ini.

Walaupun umurku masih dibilang terlampau jauh berbeda dengan Mbak May, namun aku banyak mengamati dan melihat apa saja yang ada di sekitar Pondok. Juga kegiatan dan rutinitas yang selalu menyibukkan seluruh santri dan juga Pak Kyainya.

Abah adalah seorang hafidz Al-Qur’an 30 juz, Ibu Amal juga. Mbak May pun juga tidak berbeda. Sejak lulus Sekolah Dasar sudah menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya 30 juz. Sedangkan aku? Apa kelebihanku? Sesuatu apa yang dapat aku banggakan? Sepertinya aku tak punya kelebihan dan keistimewaan.

Aku menendang-nendang batu-batu kecil disekitar halaman Pondok. Kegalauan dan keresahan mulai merasuk kedalam hati dan meracuni pikiranku. Terkadang muncul perasaan dan pertanyaan dalam benakku. Aku utarakan semuanya, namun tak ada jawaban yang bisa membuat hatiku ini tenang dan puas akan pertanyaanku.

Teng... Teng... Teng...

Bunyi lonceng membuyarkan lamunanku, dan bergegas kembali ke Masjid Akbar, untuk melanjutkan kegiatan yang selanjutnya. Tadarus Al-Qur’an.

Aku sedikit berlari agar sampai disana tidak terlambat. Karena biasanya aku melihat santri yang terlambat akan diberikan hukuman oleh Pak Kyai, dan aku tidak mau menerima hukuman itu juga dari Abah.

Nafasku tersenggal-senggal, setelah memasuki masjid aku langsung mengambil posisiku diujung untuk kenyamanan tadarus Al-Qur’an. Tiba-tiba sebuah suara negurku.

“Ulum? Kemari nak!” Abah memanggilku, aku langsung mendekat dan menunaikan panggilan itu. “Ada apa, Pak Kyai?” Tanyaku spontan.

“Sudahkah kamu sholat sunnah dua raka’at setelah memasuki masjid?” Aku sedikit kaget dengan pertanyaan Abah, dan dengan polosnya aku menjawab “Belum, Pak Kyai.” Abah membalas jawabanku, lagi-lagi dengan senyuman tipis di atas raut wajahnya.

Aku langsung mengundurkan diri, mengambil air wudhu lalu mendirikan sholat sunnah. Yang entah, aku tahu tahu sholat apakah ini yang harus aku niatkan? Sholat sunnah apa ini?

Selang beberapa jam setelah pertanyaan Abah tadi, aku mendekati Abah dan sekali lagi, aku ingin menghapus rasa penasaranku dengan bertanya kepada Abah. Dan yang aku inginkan kali ini, adalah jawaban yang memuaskan dari Abah.

“Pak Kyai? Sholat apakah yang dilakukan pagi-pagi seperti tadi? Bukankah sudah cukup melakukan sholat lima waktu yang diwajibkan?” Pertanyaanku semakin lama semakin tidak tertata, mungkin Abah berpikir kenapa aku masih ingin belajar disini jika disetiap apa yang aku lakukan aku selalu mengeluh dan mengadu. Dan untuk yang kesekian kalinya, Abah menjawab lagi dengan senyuman tipis di wajahnya.

Jarum jam terus berputar, detik waktu terus berjalan, matahari mulai menjauh dari timur dan menuju ke persinggahan di ujung barat. Dari pagi hari yang elok, berganti menjadi siang yang panjang. Hingga kini, aku siap menyambut datangnya senja.

Melelahkan ternyata, padahal baru satu hari aku melakukan aktivitas dan kegiatan seperti santri di Pondok Ma’hadi ini. Namun, aku tak boleh menyerah untuk membuktikan pada Ibu, bahwa aku juga ingin belajar dan pintar seperti Mbak May.

Aku merenung di sudut Masjid. Ku pandangi jendela yang memantulkan cahaya dari luar, hingga bisa mau ke pelataran masjid dengan terangnya. Aku mulai membuka Al-Qur’an yang sedari tadi sudah ada ditanganku, tapi aku enggan untuk membukanya. Hanya kupandangi tanpa aku baca dan aku perhatikan kalimat-kalimat indah dari ayat-ayat itu. Aku menghela nafas panjang.

Derap langkah kaki mendekatiku. Sepertinya aku tidak asing dengan langkah kaki ini. Ya, langkah kaki Abah.

“Abah?” Aku spontan menyapa. Abah membalas dengan senyum di wajahnya. Senyum yang menentramkan, namun membawaku pada rasa penasaran yang lebih dalam. Karena hanya senyumanlah yang menjadi jawabanku selama seharian tadi.

“Ulum? Bagaimana? Apakah kamu masih mau melanjutkan belajar di Pondok? Atau Abah carikan sekolah umum? Kamu memilih yang mana?” Abah langsung mengutarakan pertanyaannya kepadaku.

“Ulum masih penasaran dengan pertanyaan Ulum tadi pagi? Kenapa Abah hanya menjawab semuanya dengan senyuman?” Aku jujur mengatakan keresahan dan rasa penasaran yang berkecamuk dalam hari.

“Bukankah kamu sudah berjanji pada Abah untuk mengikuti semua kegiatan disini tanpa mempertanyakan apapun?” Abah kembali mengingatkanku pada perjanjian kita berdua sebelum aku mencoba untuk belajar di Pondok Ma’hadi ini. Dan aku hanya bisa menunduk, menganggguk dan mengiyakan semuanya.

“Baiklah, Abah akan menjawab semuanya. Dengan syarat kamu harus melanjutkan belajarmu disini. Dan tidak akan mengajukan pertanyaan lagi. Cukup sam’an wa tho’atan. Janji??” Kata Abah, aku mengangguk dengan penuh kegembiraan dalam hatiku.

Allah Subhanahu wata’ala menurunkan banyak kitab-kitab suci. Sebelum turunnya Al-Qur’an, masih ada 3 kitab yang lainnya, Zabur, Taurat, dan Injil. Namun, kitab-kitab tersebut diturunkan hanya untuk umat pada zaman itu saja. Berbeda dengan Al-Qur’an, kitab ini diturunkan untuk seluruh umat manusia di dunia dari zaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam sampai sekarang ini, bahkan hingga nanti hari kiamat datang.”

Betapa mulianya orang yang bisa menghafalkan Al-Qur’an. Dia akan ditinggikan derajatnya oleh Allah Subhanahu wata’ala, dan akan mendapatkan jaminan surga di akhirat nanti. Kamu mau, nak?” Aku mengangguk dengan senang karena pertanyaan pertamaku terjawab sudah.

“Kita hidup didunia ini sebagai manusia biasa, bukan sebagai Nabi apalagi sebagai Malaikat. Makanya, manusia masih sangat membutuhkan banyak pertolongan dan pengampunan dari Allah Subhanahu wata’ala. Ibadah yang paling utama setelah sholat fardhu adalah sholat tahajjud. Sholat yang dilakukan pada waktu sepertiga malam.”

“Barang siapa yang mendirikan sholat malam, maka Allah akan meninggikan derajatnya sampai derajat al-muqqarabuun atau dekat dengan Allah Subhanahu wata’ala. Segala doa dan ampunan pasti akan dikabulkan. Apakah kamu mau semua cita-cita dan keinginan kamu dikabulkan, nak?” Abah memandangku dengan penuh keteduhan, spontan aku mengangguk tanpa keraguan. Pertanyaanku terjawab lagi.

“Hidup itu penuh dengan warna-warni kehidupan yang dilalui untuk bisa mencapai apa yang dia inginkan. Cobaan, godaan dan ujian bisa datang dari berbagai sisi. Sholat Dhuha adalah sholat sunnah yang dilakukan pada saat matahari mulai beranjak tinggi sampai mendekati posisi tengah.”

“Barang siapa yang rutin melakukan sholat dhuha, maka derajatnya akan ditinggikan setara dengan awwabin atau orang-orang yang taat. Dia akan selalu dalam penjagaan dan perlindungan Allah Subhanahu wata’ala sepanjang hari. Kamu mau nak rutin melakukan sholat dhuha?” Sekali lagi Abah meyakinkanku untuk tetap tinggal di Pondok. Dan aku mengangguk tanpa ragu-ragu, pertanyaanku terjawab kembali.

Dari kini aku menyadari, bahwa ternyata kegiatan dan aktivitas di pondok manapun itu seperti di Pondok Ma’hadi ini telah disusun dan dirancang sedemikina rupa. Bukan hanya kesuksesan dunia saja yang dicari, namun kesuksesan di akhirat itu yang lebih utama. Karena dunia ini fana, tidak kekal abadi. Suatu ketika kita akan meninggalkannya entah kapan waktunya dan dimana tempatnya. Wallahu a’lam bishowab.



No comments:

Follow Us @cha2kiyut