Haqiqat Seorang Pemenang
Sepasang mata saling
berpandangan dan melirik. Sesekali mereka saling melemparkan percakapan yang
entah tak bermakna dan tak terdengar oleh telinga. Lalu lalang manusia berjalan
kesana-kemari tak banyak peduli. Hanya terkadang ada satu dua orang yang mau
berhenti sejenak untuk menanyakan ada sesuatu apa disana?
Aku masih tetap tak
peduli. Posisiku masih seperti semula, belum berubah maupun berpindah. Dan aku
masih tetap dalam posisi diamku.
Waktu terus berjalan,
jarum jam terus berputar. Detik waktu hampir tak pernah berhenti berbunyi. Andai
waktu sekarang ini terhenti walau hanya sejenak. Andai jarum jam itu berhenti sebentar
dari putarannya.
Aku memandang ke bawah,
tepat diatas telapak kakiku. Sandal jepit warna hijau tua yang aku kenakan
sudah mulai aus dimakan usia. Warna putihnya sudah terlihat seperti warna
abu-abu.
Panas terik matahari mulai
menyengat kulitku. Pancaran sinarnya yang menyilaukan mata, membuat semua
kepala menjadi tunduk tak berdaya. Angin kering juga tak kalah menyeringai
melewati pipiku membawa taburan debu dan pasir didalamnya.
“Hasan. Ta’ala[1]!”
Suara itu memanggilku. Aku berbalik dan mendekati sumber suara itu. Mataku
masih melihat ke bawah kaki ku, menunduk.
“Hadzihi li akhiri marroh.
La tu’id ma amilta,[2]
ya akhi!.” Aku hanya bisa mengangguk tanda patuh. “Irji’![3]”
Kalimat akhir ini sebagai tanda berakhirnya persidangan siang itu.
Aku berbalik dari hadapan pemilik
suara yang menjadi lawan bicaraku, lawan bicara yang sama sekali tidak bisa aku
balas semua pertanyaannya. Ya, dia adalah Bagian Penggerak Bahasa Pusat. Salah
satu bagian dari Organisasi Pelajar Pondok Mujahidin yang sering disingkat
OPPM.
Satu bagian yang memang
dari pertama kali aku memasuki Pondok Mujahidin ini tidak pernah sekalipun aku menyukainya.
Satu bagian yang selalu membuatku ketakutan. Satu bagian yang membuat mulutku
selalu bergetar dalam pengucapan. Satu bagian yang selalu menegakkan aturan dan
peraturan di Pondok Mujahidin ini terutama tentang bahasa resmi Pondok ini.
Bahasa Arab.
Berawal dari satu kejadian
didepan Gedung Utama, seorang santri berdiri tegak dengan papan besar
didepannya. Tertulis jelas apa yang terukir diatasnya, kalimat dengan Bahasa
Arab yang diukir rapi menggunakan khat riq’ah[4],
"نطقتُ إندونيسيةً".
“Hasan!” Satu panggilan
membuyarkan lamunanku. Aku langsung mengusap mukaku dengan kedua telapak
tanganku dan beristighfar, “Astaghfirullahal‘adzim.”
“Madza hashola laka, ya
akhi?[5]” Fauzan
teman baru sekaligus teman satu bagian denganku bertanya kepadaku. Aku sedikit
bingung ingin menjawab dengan jawaban yang seperti apa. Aku hanya menggeleng
sambil melemparkan senyuman ke arahnya.
Setelah keluar dari Gedung
Utama, aku langsung berjalan menuju ke kamarku. Dengan masih membawa selembar
surat yang membuatku gelisah, cemas, dan khawatir setelah membacanya. Aku berjalan
kedepan, namun mataku melihat kebawah, ke arah tanah yang mana aku ijakkan kaki
diatasnya.
Beberapa orang hampir
bertabrakan denganku, namun mereka segera sadar bahwa ada aku yang sedang
berjalan didepan mereka tanpa melihat kedepan.
Dalam perjalanku, aku
terus berpikir dan merenung dalam-dalam. Inilah ketakutanku yang dahulu. Rasa
takut yang selama ini cukup membuatku trauma. Dan inilah ketakutanku, yang
bahkan aku tidak tahu bagaimana menghadapinya.
Memang hal terberat dalam
menghadapi segala kegiatan di Pondok ini adalah memegang sebuah amanat. Sebuah
kepercayaan yang diberikan oleh Bapak Pengasuh kepada santri-santrinya. Amanah
yang tak bisa kita tolak sembarangan. Karena pasti ada pertimbangan dan
pemilihan sebelum amanah itu diberikan.
Hatiku terasa berat
sekarang, hatiku mulai merasakan kebimbangan. Sedari awal aku masuk Pondok ini,
baru kali ini merasakan beratnya menggenggam amanah ini. Amanah untuk menjadi
Bagian Penggerak Bahasa Pusat.
Salah satu kekuatan
penggerak di Pondok Mujahidin ini adalah gerakan dalam organisasi. Satu
organisasi ini yang membantu Pondok menertibkan peraturan dan menegakkan hukum
di Pondok.
Menjadi salah satu
pengemban amanah itu, merupakan satu beban bagiku. Beban yang terkadang
menyesakkan hati dan pikiranku. Karena bukan hanya diri sendiri yang aku
perhatikan, namun urusan umat juga harus diperhatikan.
“Hasan? Mabruk[6]
ya sudah menjadi pengurus OPPM. Kamu menjadi bagian apa sekarang?” Tanya
Sholihin, sahabat karibku. Aku hanya tersenyum tipis. Betapa senangnya dia
melihat diriku yang merasakan jadi pengurus OPPM. Tapi jika dia mengetahui
bagian apa diriku, pasti dia akan langsung tutup mulut.
“Anta[7]
pindah kamar ke mana? Biar ana[8]
bantu perpindahannya.” Solihin menawarkan bantuan yang memang aku sangat
membutuhkan bantuan itu.
“Antaqilu ila hujroh
sabi’ah Aligart[9].”
Aku menjawab singkat.
“Astaghfirullahal‘adzim.
Anta qismu tarqiyatul lughoh al-markazi?[10]”
Benar dugaanku. Solihin kaget karena mengetahui bahwa aku menjadi bagian
penggerak bahasa pusat.
Semenjak percakapan
singkat tadi, Sholihin yang biasanya cerewet dengan cerita-cerita gokilnya,
menjadi sedikit diam dan hanya bertanya apa adanya. Aku menjadi tidak enak hati
kepadanya sebagai sahabat karib, dan juga teman curhat di setiap
potongan-potongan episode cerita kita masing-masing.
Dengan
berat hati aku meninggalkan anggota kamarku dan berpindah ke bagian organisasi.
Yang paling berat adalah aku meninggalkan sahabat karibku, Sholihin. Karena
tuntutan tugas dan amanah dari Pondok, aku harus mengorbankan sedikit kehidupanku
yang menyenangkan bersamanya.
***
Waktu terus berjalan, dan
jarum jam tak pernah berhenti berputar. Sudah satu minggu aku menjalankan
amanah sebagai Bagian Penggerak Bahasa Pusat. Dan dalam waktu seminggu pula aku
belum berani menampakkan diri keluar kamar jauh-jauh. Karena aku tak mau
mendengarkan celotehan santri-santri yang suka berbicara menggunakan bahasa
Indonesia diam-diam.
Dan hari ini, aku
memutuskan untuk pergi keluar sebentar. Bukan untuk mencari mangsa dan
dijadikan bahan persidangan seperti teman-teman satu bagianku. Tapi untuk mencari
udara segar sambil menikmati udara sore hari yang sejuk. Udara ini yang sering
aku hirup bersama dengan Solihin, sambil menghafalkan pelajaran Muthola’ah.
Indah sekali rasanya waktu itu.
Sayangnya, semenjak
menjadi salah satu bagian dari OPPM, ada satu peraturan bahwa santri yang
menjadi bagian organisasi tidak boleh bermain di rayon dan kamar-kamar lain.
Itu sudah peraturan, dan aku harus mentaatinya.
Aku berjalan ke arah Masjid,
di sebelah selatan Masjid ada satu taman yang indah dan sejuk. Sangat nyaman
untuk menikmati indahnya pemandangan alam disekitarnya sambil menghafalkan
beberapa judul pelajaran.
Sebuah batu besar yang
tertancap di taman itu, cukup nyaman untuk di duduki diatasnya. Akupun duduk
sejenak disana dan mulai memandang alam sekitar. Subhanallah, sungguh
indah pemandangan sore ini.
Ditengah-tengah ketenangan
itu, sayup-sayup aku mendengar perbincangan antara dua orang menggunakan bahasa
Indonesia. Bahasa yang seharusnya tidak boleh digunakan di Pondok ini, selain
Bahasa Arab. Aku langsung menoleh dan memanggil dua orang tersebut.
“Madza takallamtuma? Wa
ayyati lughotin istakhdamtuma?[11]”
Aku respek melontarkan kata-kata pertanyaan yang membuat bombastis pembicara.
Ternyata pertanyaanku
kepada mereka berdua begitu tampak mengagetkan. Sehingga secara refleks mereka
menundukkan kepala tanda bersalah. Aku mulai bingung dan berpikir, apa yang
selanjutnya harus aku katakan?
“Ajib[12],
ya Akhi!” Hanya itu kalimat selanjutnya yang bisa aku keluarkan dari bibir ini.
“Asta’fikum, ya akhi?
Nathoqna ‘arobiyatan fii muhadatsatina.[13]”
Dengan sangat pelan, dia menjawab. Sehingga membuatku sedikit tidak tega jika
ingin melanjutkan persidangan di tempat itu.
Pikiranku terbang pada
ingatanku tiga tahun yang lalu. Ketika pertama kali aku mendapatkan hukuman
dari Bagian Penggerak Bahasa Pusat. Sebenarnya bukan kalimat Bahasa Indonesia yang
aku katakan. Tetapi, betapa kakak kelas itu tidak mau mendengarkan jawaban dan penjelasan
dariku. Aku tidak ingin hal seperti itu terjadi.
“Ayyatu kalimatin
takalamtuma?[14]”
Perkataanku sedikit rendah, setelah dari tadi aku menekankan kalimat-kalimatku
didepan mereka berdua.
Bibir salah satu santri
itu bergetar sambil mengucapkan. “Ayyu makan.”
Mataku mengeryit, tanda
bahwa aku sedang berpikir sejenak. Ayyu makan[15]
atau ayyo makan? Memang kalimat ini hampir mirip dalam perkataan dan
pengucapannya. Makan dalam arti bahasa arab adalah dimana.
Ingatanku kembali melayang
pada kejadian tiga tahun lalu. Ketika aku harus menjalankan hukuman tanpa
kesalahan yang aku lakukan. Ya, dijemur di depan Gedung Utama dengan sebuah
papan tulis di depanku.
Aku tidak mau kejadian
yang telah menyakitkan dan menyiksa batinku terjadi pada orang lain. Kedzoliman
yang aku rasakan, tidak akan aku ulang kembali pada orang lain. Dan sekarang aku
mengalami kejadian yang sama seperti pada waktu itu.
Hanya satu yang berbeda.
Aku memilih untuk bersikeras tidak mau mendengarkan alasan mereka dan tetap
menyalahkan dua santri yang sekarang ada didepanku. Atau aku mendengarkan perkataan
dan pengakuan mereka apa adanya. Entah mungkin ternyata mereka berbohong untuk
menutupi kesalahan mereka, atau tidak.
Kali ini aku sedikit
dilema. Dilema dalam persidangan. Satu sisi, aku yang mendapatkan amanah
sebagai Bagian Penggerak Bahasa Pusat. Tapi, di sisi lain aku harus mempunyai
wajah keadilan dan hati nurani dalam setiap keputusan. Bukan mengedepankan ego dan
haibah agar martabat tidak jatuh di depan santri, atau pelanggar bahasa.
Satu detik berlalu, satu
menit berjalan. Dan aku masih diam. Mataku terpejam, hatiku membisu. Pikiranku
melayang teringat akan kenangan dan bayang-bayang kedzoliman. Hingga akhirnya
aku mulai membuka mulut untuk mengeluarkan keputusan untuk dua santri yang
sekarang tengah berdiri menunduk di depanku.
“Toyyib. Istikhdamu-l-lughoh
al-‘arabiyah fii-l muhadatsah ahsan. Liana lughota-l ‘arabiyah hiya lughotu
ahli-l jannah.[16]”
Dengan tegas dan berwibawa akhirnya aku mengeluarkan semua perkataan yang ada
di dalam benakku. Kemudian beranjak pergi meninggalkan mereka dengan senyuman
di pipi.
Aku kembali mengingat
pesan singkat dari Bapak Pengasuh ketika pelantikan pengurus Organisasi Pelajar
Pondok Mujahidin ini.
Bahwa orang yang berbudi
tinggi dan berjiwa besar adalah mereka yang berani mengambil keputusan bijak
dengan berwibawa. Bukan mengedepankan ego dalam diri sendiri. Dan bertindak sewenang-wenang
karena mendapatkan jabatan dalam sebuah organisasi.
Karena seorang pemenang
adalah orang yang mau mengakui kesalahannya, dan yang mau memaafkan kesalahan
orang lain. Dan seorang pemenang adalah orang yang selalu bersabar dan bersyukur
dalam setiap cobaan serta ujian yang dihadapinya. Membalas semua cobaan dengan
senyuman. Dan menerima segala ujian dengan kelapangan.
Ya, dialah pemenang
kehidupan.
[1] Datanglah
[2] Ini adalah yang terakhir kalinya. Jangan diulangi kembali apa yang sudah
kamu lakukan!
[3] Kembalilah!
[4] Sejenis gaya khat yang dirancang oleh orang Turki pada zaman pemerintahan
Utsmaniyah (850H)
[16] Baiklah. Menggunaan bahasa arab dalam percakapan itu lebih baik. Karena
bahasa arab itu adalah bahasa para penghuni surga.