Selalu Sertakan Allah Dalam Setiap Langkah Kaki Berpijak

Wednesday, 29 March 2017


Haqiqat Seorang Pemenang 

Sepasang mata saling berpandangan dan melirik. Sesekali mereka saling melemparkan percakapan yang entah tak bermakna dan tak terdengar oleh telinga. Lalu lalang manusia berjalan kesana-kemari tak banyak peduli. Hanya terkadang ada satu dua orang yang mau berhenti sejenak untuk menanyakan ada sesuatu apa disana?
Aku masih tetap tak peduli. Posisiku masih seperti semula, belum berubah maupun berpindah. Dan aku masih tetap dalam posisi diamku.
Waktu terus berjalan, jarum jam terus berputar. Detik waktu hampir tak pernah berhenti berbunyi. Andai waktu sekarang ini terhenti walau hanya sejenak. Andai jarum jam itu berhenti sebentar dari putarannya.
Aku memandang ke bawah, tepat diatas telapak kakiku. Sandal jepit warna hijau tua yang aku kenakan sudah mulai aus dimakan usia. Warna putihnya sudah terlihat seperti warna abu-abu.
Panas terik matahari mulai menyengat kulitku. Pancaran sinarnya yang menyilaukan mata, membuat semua kepala menjadi tunduk tak berdaya. Angin kering juga tak kalah menyeringai melewati pipiku membawa taburan debu dan pasir didalamnya.
“Hasan. Ta’ala[1]!” Suara itu memanggilku. Aku berbalik dan mendekati sumber suara itu. Mataku masih melihat ke bawah kaki ku, menunduk.
Hadzihi li akhiri marroh. La tu’id ma amilta,[2] ya akhi!.” Aku hanya bisa mengangguk tanda patuh. “Irji’![3] Kalimat akhir ini sebagai tanda berakhirnya persidangan siang itu.
Aku berbalik dari hadapan pemilik suara yang menjadi lawan bicaraku, lawan bicara yang sama sekali tidak bisa aku balas semua pertanyaannya. Ya, dia adalah Bagian Penggerak Bahasa Pusat. Salah satu bagian dari Organisasi Pelajar Pondok Mujahidin yang sering disingkat OPPM.
Satu bagian yang memang dari pertama kali aku memasuki Pondok Mujahidin ini tidak pernah sekalipun aku menyukainya. Satu bagian yang selalu membuatku ketakutan. Satu bagian yang membuat mulutku selalu bergetar dalam pengucapan. Satu bagian yang selalu menegakkan aturan dan peraturan di Pondok Mujahidin ini terutama tentang bahasa resmi Pondok ini. Bahasa Arab.
Berawal dari satu kejadian didepan Gedung Utama, seorang santri berdiri tegak dengan papan besar didepannya. Tertulis jelas apa yang terukir diatasnya, kalimat dengan Bahasa Arab yang diukir rapi menggunakan khat riq’ah[4], "نطقتُ إندونيسيةً".
“Hasan!” Satu panggilan membuyarkan lamunanku. Aku langsung mengusap mukaku dengan kedua telapak tanganku dan beristighfar, “Astaghfirullahal‘adzim.”
“Madza hashola laka, ya akhi?[5] Fauzan teman baru sekaligus teman satu bagian denganku bertanya kepadaku. Aku sedikit bingung ingin menjawab dengan jawaban yang seperti apa. Aku hanya menggeleng sambil melemparkan senyuman ke arahnya.
Setelah keluar dari Gedung Utama, aku langsung berjalan menuju ke kamarku. Dengan masih membawa selembar surat yang membuatku gelisah, cemas, dan khawatir setelah membacanya. Aku berjalan kedepan, namun mataku melihat kebawah, ke arah tanah yang mana aku ijakkan kaki diatasnya.
Beberapa orang hampir bertabrakan denganku, namun mereka segera sadar bahwa ada aku yang sedang berjalan didepan mereka tanpa melihat kedepan.
Dalam perjalanku, aku terus berpikir dan merenung dalam-dalam. Inilah ketakutanku yang dahulu. Rasa takut yang selama ini cukup membuatku trauma. Dan inilah ketakutanku, yang bahkan aku tidak tahu bagaimana menghadapinya.
Memang hal terberat dalam menghadapi segala kegiatan di Pondok ini adalah memegang sebuah amanat. Sebuah kepercayaan yang diberikan oleh Bapak Pengasuh kepada santri-santrinya. Amanah yang tak bisa kita tolak sembarangan. Karena pasti ada pertimbangan dan pemilihan sebelum amanah itu diberikan.
Hatiku terasa berat sekarang, hatiku mulai merasakan kebimbangan. Sedari awal aku masuk Pondok ini, baru kali ini merasakan beratnya menggenggam amanah ini. Amanah untuk menjadi Bagian Penggerak Bahasa Pusat.
Salah satu kekuatan penggerak di Pondok Mujahidin ini adalah gerakan dalam organisasi. Satu organisasi ini yang membantu Pondok menertibkan peraturan dan menegakkan hukum di Pondok.
Menjadi salah satu pengemban amanah itu, merupakan satu beban bagiku. Beban yang terkadang menyesakkan hati dan pikiranku. Karena bukan hanya diri sendiri yang aku perhatikan, namun urusan umat juga harus diperhatikan.
“Hasan? Mabruk[6] ya sudah menjadi pengurus OPPM. Kamu menjadi bagian apa sekarang?” Tanya Sholihin, sahabat karibku. Aku hanya tersenyum tipis. Betapa senangnya dia melihat diriku yang merasakan jadi pengurus OPPM. Tapi jika dia mengetahui bagian apa diriku, pasti dia akan langsung tutup mulut.
Anta[7] pindah kamar ke mana? Biar ana[8] bantu perpindahannya.” Solihin menawarkan bantuan yang memang aku sangat membutuhkan bantuan itu.
Antaqilu ila hujroh sabi’ah Aligart[9].” Aku menjawab singkat.
Astaghfirullahal‘adzim. Anta qismu tarqiyatul lughoh al-markazi?[10]” Benar dugaanku. Solihin kaget karena mengetahui bahwa aku menjadi bagian penggerak bahasa pusat.
Semenjak percakapan singkat tadi, Sholihin yang biasanya cerewet dengan cerita-cerita gokilnya, menjadi sedikit diam dan hanya bertanya apa adanya. Aku menjadi tidak enak hati kepadanya sebagai sahabat karib, dan juga teman curhat di setiap potongan-potongan episode cerita kita masing-masing.
Dengan berat hati aku meninggalkan anggota kamarku dan berpindah ke bagian organisasi. Yang paling berat adalah aku meninggalkan sahabat karibku, Sholihin. Karena tuntutan tugas dan amanah dari Pondok, aku harus mengorbankan sedikit kehidupanku yang menyenangkan bersamanya.
***
Waktu terus berjalan, dan jarum jam tak pernah berhenti berputar. Sudah satu minggu aku menjalankan amanah sebagai Bagian Penggerak Bahasa Pusat. Dan dalam waktu seminggu pula aku belum berani menampakkan diri keluar kamar jauh-jauh. Karena aku tak mau mendengarkan celotehan santri-santri yang suka berbicara menggunakan bahasa Indonesia diam-diam.
Dan hari ini, aku memutuskan untuk pergi keluar sebentar. Bukan untuk mencari mangsa dan dijadikan bahan persidangan seperti teman-teman satu bagianku. Tapi untuk mencari udara segar sambil menikmati udara sore hari yang sejuk. Udara ini yang sering aku hirup bersama dengan Solihin, sambil menghafalkan pelajaran Muthola’ah. Indah sekali rasanya waktu itu.
Sayangnya, semenjak menjadi salah satu bagian dari OPPM, ada satu peraturan bahwa santri yang menjadi bagian organisasi tidak boleh bermain di rayon dan kamar-kamar lain. Itu sudah peraturan, dan aku harus mentaatinya.
Aku berjalan ke arah Masjid, di sebelah selatan Masjid ada satu taman yang indah dan sejuk. Sangat nyaman untuk menikmati indahnya pemandangan alam disekitarnya sambil menghafalkan beberapa judul pelajaran.
Sebuah batu besar yang tertancap di taman itu, cukup nyaman untuk di duduki diatasnya. Akupun duduk sejenak disana dan mulai memandang alam sekitar. Subhanallah, sungguh indah pemandangan sore ini.
Ditengah-tengah ketenangan itu, sayup-sayup aku mendengar perbincangan antara dua orang menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa yang seharusnya tidak boleh digunakan di Pondok ini, selain Bahasa Arab. Aku langsung menoleh dan memanggil dua orang tersebut.
Madza takallamtuma? Wa ayyati lughotin istakhdamtuma?[11]” Aku respek melontarkan kata-kata pertanyaan yang membuat bombastis pembicara.
Ternyata pertanyaanku kepada mereka berdua begitu tampak mengagetkan. Sehingga secara refleks mereka menundukkan kepala tanda bersalah. Aku mulai bingung dan berpikir, apa yang selanjutnya harus aku katakan?
Ajib[12], ya Akhi!” Hanya itu kalimat selanjutnya yang bisa aku keluarkan dari bibir ini.
Asta’fikum, ya akhi? Nathoqna ‘arobiyatan fii muhadatsatina.[13]” Dengan sangat pelan, dia menjawab. Sehingga membuatku sedikit tidak tega jika ingin melanjutkan persidangan di tempat itu.
Pikiranku terbang pada ingatanku tiga tahun yang lalu. Ketika pertama kali aku mendapatkan hukuman dari Bagian Penggerak Bahasa Pusat. Sebenarnya bukan kalimat Bahasa Indonesia yang aku katakan. Tetapi, betapa kakak kelas itu tidak mau mendengarkan jawaban dan penjelasan dariku. Aku tidak ingin hal seperti itu terjadi.
Ayyatu kalimatin takalamtuma?[14]” Perkataanku sedikit rendah, setelah dari tadi aku menekankan kalimat-kalimatku didepan mereka berdua.
Bibir salah satu santri itu bergetar sambil mengucapkan. “Ayyu makan.”
Mataku mengeryit, tanda bahwa aku sedang berpikir sejenak. Ayyu makan[15] atau ayyo makan? Memang kalimat ini hampir mirip dalam perkataan dan pengucapannya. Makan dalam arti bahasa arab adalah dimana.
Ingatanku kembali melayang pada kejadian tiga tahun lalu. Ketika aku harus menjalankan hukuman tanpa kesalahan yang aku lakukan. Ya, dijemur di depan Gedung Utama dengan sebuah papan tulis di depanku.
Aku tidak mau kejadian yang telah menyakitkan dan menyiksa batinku terjadi pada orang lain. Kedzoliman yang aku rasakan, tidak akan aku ulang kembali pada orang lain. Dan sekarang aku mengalami kejadian yang sama seperti pada waktu itu.
Hanya satu yang berbeda. Aku memilih untuk bersikeras tidak mau mendengarkan alasan mereka dan tetap menyalahkan dua santri yang sekarang ada didepanku. Atau aku mendengarkan perkataan dan pengakuan mereka apa adanya. Entah mungkin ternyata mereka berbohong untuk menutupi kesalahan mereka, atau tidak.
Kali ini aku sedikit dilema. Dilema dalam persidangan. Satu sisi, aku yang mendapatkan amanah sebagai Bagian Penggerak Bahasa Pusat. Tapi, di sisi lain aku harus mempunyai wajah keadilan dan hati nurani dalam setiap keputusan. Bukan mengedepankan ego dan haibah agar martabat tidak jatuh di depan santri, atau pelanggar bahasa.
Satu detik berlalu, satu menit berjalan. Dan aku masih diam. Mataku terpejam, hatiku membisu. Pikiranku melayang teringat akan kenangan dan bayang-bayang kedzoliman. Hingga akhirnya aku mulai membuka mulut untuk mengeluarkan keputusan untuk dua santri yang sekarang tengah berdiri menunduk di depanku.
Toyyib. Istikhdamu-l-lughoh al-‘arabiyah fii-l muhadatsah ahsan. Liana lughota-l ‘arabiyah hiya lughotu ahli-l jannah.[16]” Dengan tegas dan berwibawa akhirnya aku mengeluarkan semua perkataan yang ada di dalam benakku. Kemudian beranjak pergi meninggalkan mereka dengan senyuman di pipi.
Aku kembali mengingat pesan singkat dari Bapak Pengasuh ketika pelantikan pengurus Organisasi Pelajar Pondok Mujahidin ini.
Bahwa orang yang berbudi tinggi dan berjiwa besar adalah mereka yang berani mengambil keputusan bijak dengan berwibawa. Bukan mengedepankan ego dalam diri sendiri. Dan bertindak sewenang-wenang karena mendapatkan jabatan dalam sebuah organisasi.
Karena seorang pemenang adalah orang yang mau mengakui kesalahannya, dan yang mau memaafkan kesalahan orang lain. Dan seorang pemenang adalah orang yang selalu bersabar dan bersyukur dalam setiap cobaan serta ujian yang dihadapinya. Membalas semua cobaan dengan senyuman. Dan menerima segala ujian dengan kelapangan.
Ya, dialah pemenang kehidupan.



[1] Datanglah
[2] Ini adalah yang terakhir kalinya. Jangan diulangi kembali apa yang sudah kamu lakukan!
[3] Kembalilah!
[4] Sejenis gaya khat yang dirancang oleh orang Turki pada zaman pemerintahan Utsmaniyah (850H)
[5] Apa yang kamu keluhkan?
[6] Selamat
[7] Kamu (laki-laki)
[8] Aku
[9] Aku pindah ke kamar tujuh Gedung Aligart
[10] Kamu menjadi Bagian Penggerak Bahasa Pusat?
[11] Apa yang kalian berdua bicarakan?? Dan bahasa apa yang kalian pergunakan?
[12] Jawablah!
[13] Kami minta maaf, Kak? Kami berbicara dengan bahasa arab dalam percakapan.
[14] Kalimat apa yang kalian katakan?
[15] Dimanapun
[16] Baiklah. Menggunaan bahasa arab dalam percakapan itu lebih baik. Karena bahasa arab itu adalah bahasa para penghuni surga.

Wednesday, 1 March 2017


Sam’an wa Tho’atan


Gumpalan awan putih bergulung menjadi satu diufuk barat, menyatukan kemegahan hingga tercipta mega merah yang indah nan mempesona. Menyejukkan mata untuk bisa menikmati indahnya karunia Illahi saat ini. Menenteramkan hati untuk selalu bersyukur dan berdzikir kepada Sang Kholiq, yang telah menciptakan jagat raya seisinya ini.


Mega merah yang merekah di ufuk barat serta angin malam yang mulai berhembus membawa hawa dingin, menandakan bahwa telah masuknya waktu maghrib. Sayu-sayu terdengar lantunan adzan maghrib dari berbagai penjuru, terlontar keras dari menara-menara masjid. Salah satunya adalah Masjid Akbar, masjid yang menjadi titik pusat peradaban di Pondok Ma’hadi.

Pondok Ma’hadi adalah salah satu pondok di Kalimantan Tengah. Pondok yang berdiri dibawah naungan Bapak Pengasuh Ustadz Lillahi Karom. Beliau adalah lulusan Universitas Al-Azhar Mesir, dan pulang ke Indonesia mendirikan pondok untuk menyalurkan ilmu dan pengetahuan yang Beliau tanam selama mengenyam pendidikan disana.

Pondok ini masih seumuran dengan umur jagung, masih sangat muda sekali. Namun, santri yang mondok disini lumayan banyak, bahkan dari luar Kalimantan Tengahpun juga ada.

Kegiatan di Pondok Ma’hadi ini adalah belajar tilawatil Qur’an, dan juga untuk program menghafal al-Qur’an. Pondok ini memang didesain untuk santri yang ingin mempelajari dan memperdalam al-Qur’an dari hukum tajwidnya, dari cara bacaannya, qira’ahnya, tilawahnya, sampai menghafalnya.

Kebiasaan yang menjadi rutinitas setiap tahun adalah penerimaan santri baru untuk yang ingin mondok di Pondok Ma’hadi ini. Pengajaran dan bimbingan dilakukan ekstra lebih untuk mereka yang ingin belajar menuntut ilmu di Pondok Ma’hadi.

 “Pak Kyai? Kenapa kita harus belajar al-Qur’an sampai dalam sekali, padahal jika kita tahu makna dan artinya serta bisa membacanya itu kan sudah cukup?” Tanyaku kepada Abah. Beliau hanya menjawab dengan senyuman tipis.

Karena tak ada jawaban yang aku terima, aku melanjutkan aktivitasku dan meneruskan bacaan Al-Qur’an ku.

Pada seperempat malam, sekitar pukul tiga dini hari. Seluruh santri sudah wajib bangun pagi untuk shalat malam dan juga dzikir bersama. Untuk menyambut datangnya waktu subuh, santri senior sudah mulai menghafalkan ayat-ayat suci al-Qur’an. Sedangkan untuk santri junior, diforsirkan untuk dzikir bersama.

“Pak Kyai? Kenapa kita harus bangun dini hari sekali untuk sholat malam, padahal kita mendirikan sholat lima waktu sudah cukup?” Tanyaku lagi kepada Abah. Dan lagi-lagi Beliau menjawab dengan senyuman tipis.

Aku hanya bisa tercengang sesaat, karena dari semalaman aku bertanya pada Abah dan sama sekali tidak ada jawaban yang bisa menghilangkan rasa penasaran ini. Dan hanya terjawab dengan sebuah tarikan senyuman di wajah Abah.

Bahrul Ulum adalah namaku. Nama yang diberikan untukku entah sejak kapan itu. Semenjak kecil aku tinggal di Pondok Ma’hadi ini dengan ibu pengasuh yaitu istri Pak Kyai, Hasanah Amalia. Semua santri di Pondok memanggil ibu pengasuh dengan panggilan Ibu Amal, ya beliau adalah ibu pengasuh sekaligus ibu angkatku.

Kini usiaku menginjak pada angka 10 tahun, angka yang mana sudah bukan angka kecil lagi. Itu membuat diriku harus belajar dan mengikuti berbagai kegiatan yang ada di Pondok Ma’hadi ini. Walaupun masih ada keringanan dan dispensasi untukku.

Dan hari ini, tepat hari sabtu. Hari dimana dimulainya seluruh kegiatan setelah berakhirnya hari libur pada hari jum’at. Dan hari ini juga, tepat pertama kalinya aku mengikuti kegiatan di Pondok Ma’hadi untuk menjadi santri di Pondok ini.

Walaupun ketika dirumah, aku memanggil bapak pengasuh dengan sebutan Abah, namun ketika memasuki kawasan Pondok, aku tetap memanggil Abah seperti santri yang lainnya, Pak Kyai.

“Ulum?!” Seseorang memanggilku dari kejauhan. Aakupun tidak asing dengan suara itu dan seketika menoleh kebelakang.

“Mbak May. Sudah pulang kah?” Tanyaku kepada kakak angkatku, putri dari Pak Kyai pengasuh Pondok Ma’hadi ini. Maysarah namanya.

“Kamu sedang apa disini? Mau ganggu ngajinya santri-santri ya?” Celetuk Mbak May kepadaku, karena memang kebiasaanku dulu mengganggu santri-santri yang sedang mengaji.

“Enggak kok Mbak. Sekarang aku mau belajar ngaji juga. Biar pinter seperti santri-santri yang lama.” Kataku asal-asalan. Padahal masih banyak pertanyaan yang ingin aku utarakan, masih banyak kalimat dari kata kenapa dan mengapa untuk harus aku ketahui dan pelajari.

Mbak May tidak mau berlama-lama mengobrol denganku, karena mungkin banyak kesibukan dan pekerjaan yang harus dia selesaikan setiap harinya. Mbak May adalah bagian administrasi dan juga bimbingan Pondok Ma’hadi ini. Karena Mbak May adalah putri satu-satunya Bapak Pengasuh, maka dari kecil sudah diberikan bekal untuk nantinya meneruskan estafet perjuangan Pondok Ma’hadi ini.

Walaupun umurku masih dibilang terlampau jauh berbeda dengan Mbak May, namun aku banyak mengamati dan melihat apa saja yang ada di sekitar Pondok. Juga kegiatan dan rutinitas yang selalu menyibukkan seluruh santri dan juga Pak Kyainya.

Abah adalah seorang hafidz Al-Qur’an 30 juz, Ibu Amal juga. Mbak May pun juga tidak berbeda. Sejak lulus Sekolah Dasar sudah menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya 30 juz. Sedangkan aku? Apa kelebihanku? Sesuatu apa yang dapat aku banggakan? Sepertinya aku tak punya kelebihan dan keistimewaan.

Aku menendang-nendang batu-batu kecil disekitar halaman Pondok. Kegalauan dan keresahan mulai merasuk kedalam hati dan meracuni pikiranku. Terkadang muncul perasaan dan pertanyaan dalam benakku. Aku utarakan semuanya, namun tak ada jawaban yang bisa membuat hatiku ini tenang dan puas akan pertanyaanku.

Teng... Teng... Teng...

Bunyi lonceng membuyarkan lamunanku, dan bergegas kembali ke Masjid Akbar, untuk melanjutkan kegiatan yang selanjutnya. Tadarus Al-Qur’an.

Aku sedikit berlari agar sampai disana tidak terlambat. Karena biasanya aku melihat santri yang terlambat akan diberikan hukuman oleh Pak Kyai, dan aku tidak mau menerima hukuman itu juga dari Abah.

Nafasku tersenggal-senggal, setelah memasuki masjid aku langsung mengambil posisiku diujung untuk kenyamanan tadarus Al-Qur’an. Tiba-tiba sebuah suara negurku.

“Ulum? Kemari nak!” Abah memanggilku, aku langsung mendekat dan menunaikan panggilan itu. “Ada apa, Pak Kyai?” Tanyaku spontan.

“Sudahkah kamu sholat sunnah dua raka’at setelah memasuki masjid?” Aku sedikit kaget dengan pertanyaan Abah, dan dengan polosnya aku menjawab “Belum, Pak Kyai.” Abah membalas jawabanku, lagi-lagi dengan senyuman tipis di atas raut wajahnya.

Aku langsung mengundurkan diri, mengambil air wudhu lalu mendirikan sholat sunnah. Yang entah, aku tahu tahu sholat apakah ini yang harus aku niatkan? Sholat sunnah apa ini?

Selang beberapa jam setelah pertanyaan Abah tadi, aku mendekati Abah dan sekali lagi, aku ingin menghapus rasa penasaranku dengan bertanya kepada Abah. Dan yang aku inginkan kali ini, adalah jawaban yang memuaskan dari Abah.

“Pak Kyai? Sholat apakah yang dilakukan pagi-pagi seperti tadi? Bukankah sudah cukup melakukan sholat lima waktu yang diwajibkan?” Pertanyaanku semakin lama semakin tidak tertata, mungkin Abah berpikir kenapa aku masih ingin belajar disini jika disetiap apa yang aku lakukan aku selalu mengeluh dan mengadu. Dan untuk yang kesekian kalinya, Abah menjawab lagi dengan senyuman tipis di wajahnya.

Jarum jam terus berputar, detik waktu terus berjalan, matahari mulai menjauh dari timur dan menuju ke persinggahan di ujung barat. Dari pagi hari yang elok, berganti menjadi siang yang panjang. Hingga kini, aku siap menyambut datangnya senja.

Melelahkan ternyata, padahal baru satu hari aku melakukan aktivitas dan kegiatan seperti santri di Pondok Ma’hadi ini. Namun, aku tak boleh menyerah untuk membuktikan pada Ibu, bahwa aku juga ingin belajar dan pintar seperti Mbak May.

Aku merenung di sudut Masjid. Ku pandangi jendela yang memantulkan cahaya dari luar, hingga bisa mau ke pelataran masjid dengan terangnya. Aku mulai membuka Al-Qur’an yang sedari tadi sudah ada ditanganku, tapi aku enggan untuk membukanya. Hanya kupandangi tanpa aku baca dan aku perhatikan kalimat-kalimat indah dari ayat-ayat itu. Aku menghela nafas panjang.

Derap langkah kaki mendekatiku. Sepertinya aku tidak asing dengan langkah kaki ini. Ya, langkah kaki Abah.

“Abah?” Aku spontan menyapa. Abah membalas dengan senyum di wajahnya. Senyum yang menentramkan, namun membawaku pada rasa penasaran yang lebih dalam. Karena hanya senyumanlah yang menjadi jawabanku selama seharian tadi.

“Ulum? Bagaimana? Apakah kamu masih mau melanjutkan belajar di Pondok? Atau Abah carikan sekolah umum? Kamu memilih yang mana?” Abah langsung mengutarakan pertanyaannya kepadaku.

“Ulum masih penasaran dengan pertanyaan Ulum tadi pagi? Kenapa Abah hanya menjawab semuanya dengan senyuman?” Aku jujur mengatakan keresahan dan rasa penasaran yang berkecamuk dalam hari.

“Bukankah kamu sudah berjanji pada Abah untuk mengikuti semua kegiatan disini tanpa mempertanyakan apapun?” Abah kembali mengingatkanku pada perjanjian kita berdua sebelum aku mencoba untuk belajar di Pondok Ma’hadi ini. Dan aku hanya bisa menunduk, menganggguk dan mengiyakan semuanya.

“Baiklah, Abah akan menjawab semuanya. Dengan syarat kamu harus melanjutkan belajarmu disini. Dan tidak akan mengajukan pertanyaan lagi. Cukup sam’an wa tho’atan. Janji??” Kata Abah, aku mengangguk dengan penuh kegembiraan dalam hatiku.

Allah Subhanahu wata’ala menurunkan banyak kitab-kitab suci. Sebelum turunnya Al-Qur’an, masih ada 3 kitab yang lainnya, Zabur, Taurat, dan Injil. Namun, kitab-kitab tersebut diturunkan hanya untuk umat pada zaman itu saja. Berbeda dengan Al-Qur’an, kitab ini diturunkan untuk seluruh umat manusia di dunia dari zaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam sampai sekarang ini, bahkan hingga nanti hari kiamat datang.”

Betapa mulianya orang yang bisa menghafalkan Al-Qur’an. Dia akan ditinggikan derajatnya oleh Allah Subhanahu wata’ala, dan akan mendapatkan jaminan surga di akhirat nanti. Kamu mau, nak?” Aku mengangguk dengan senang karena pertanyaan pertamaku terjawab sudah.

“Kita hidup didunia ini sebagai manusia biasa, bukan sebagai Nabi apalagi sebagai Malaikat. Makanya, manusia masih sangat membutuhkan banyak pertolongan dan pengampunan dari Allah Subhanahu wata’ala. Ibadah yang paling utama setelah sholat fardhu adalah sholat tahajjud. Sholat yang dilakukan pada waktu sepertiga malam.”

“Barang siapa yang mendirikan sholat malam, maka Allah akan meninggikan derajatnya sampai derajat al-muqqarabuun atau dekat dengan Allah Subhanahu wata’ala. Segala doa dan ampunan pasti akan dikabulkan. Apakah kamu mau semua cita-cita dan keinginan kamu dikabulkan, nak?” Abah memandangku dengan penuh keteduhan, spontan aku mengangguk tanpa keraguan. Pertanyaanku terjawab lagi.

“Hidup itu penuh dengan warna-warni kehidupan yang dilalui untuk bisa mencapai apa yang dia inginkan. Cobaan, godaan dan ujian bisa datang dari berbagai sisi. Sholat Dhuha adalah sholat sunnah yang dilakukan pada saat matahari mulai beranjak tinggi sampai mendekati posisi tengah.”

“Barang siapa yang rutin melakukan sholat dhuha, maka derajatnya akan ditinggikan setara dengan awwabin atau orang-orang yang taat. Dia akan selalu dalam penjagaan dan perlindungan Allah Subhanahu wata’ala sepanjang hari. Kamu mau nak rutin melakukan sholat dhuha?” Sekali lagi Abah meyakinkanku untuk tetap tinggal di Pondok. Dan aku mengangguk tanpa ragu-ragu, pertanyaanku terjawab kembali.

Dari kini aku menyadari, bahwa ternyata kegiatan dan aktivitas di pondok manapun itu seperti di Pondok Ma’hadi ini telah disusun dan dirancang sedemikina rupa. Bukan hanya kesuksesan dunia saja yang dicari, namun kesuksesan di akhirat itu yang lebih utama. Karena dunia ini fana, tidak kekal abadi. Suatu ketika kita akan meninggalkannya entah kapan waktunya dan dimana tempatnya. Wallahu a’lam bishowab.



Follow Us @cha2kiyut