BANGKIT SETELAH
MATI
Terangnya
cahaya lampu di malam ini tak seterang biasanya. Balutan angin malam yang terus
berhembus dan menempel kulit yang tipis. Sayup-sayup udara malam membawa nyanyian
sunyi serangga kecil yang mengusik keheningan.
Sepasang
kaki terus berjalan diantara terangnya bulan dan bintang. Namun malam ini,
bulan tak bersinar seperti biasanya dan tak sebenderang seperti sedia kala.
Bintangpun yang biasa bertebaran di seluruh jajaran langit luas, hanya nampak
hitungan jari saja.
Ada
apa dengan malam ini?
Tok..
tok.. tok.. tok..
Langkah
kaki seorang paruh baya dan juga tongkat tuanya yang selalu menemani. Terdengar
alus dan berirama rapi, tidak cepat, tetapi juga tidak lambat. Pelan tapi
pasti.
“Assalamu’alaikum,
Pak Kyai?” Sapa Hasan, salah seorang santri didikan Pak Kyai.
“Wa’alaikumsalam.
Apa yang kamu lakukan di sini, Has?” Jawab Pak Kyai dengan disertai pertanyaan
yang sebenarnya ingin ditanyakan Hasan kepadanya.
“Saya
baru saja dari kaHas mandi. Pak Kyai sendiri sedang apa malam-malam berjalan
sendirian? Udara sangat dingin dan pak Kyai tak memakai jaket? Biar saya
ambilkan baju hangat untuk Pak Kyai.” Ucap Hasan panjang lebar, runtut dan juga
penuh kesopanan terhadap Kyainya.
“Tidak
usah. Aku hanya ingin melihat pondokku saat malam hari.” Ucap Pak Kyai tanpa
basa-basi.
“Kalau
begitu, apakah saya boleh ikut Pak Kyai?” Hasan menawarkan diri untuk menjadi
teman berbincang malam itu. Pak Kyai hanya membalasnya dengan senyuman tanda
persetujuan.
Pondok
As-Sholihin adalah sebuah pondok salafi yang dibangun oleh kakek buyut Pak
Kyai, ketika itu masih masyhur di zaman sebelum merdeka. Kyai Rofi’i adalah
nama akrab yang sering terlantunkan di dalam lisan para santri.
Umurnya
telah renta, hampir mencapai sembilan puluh tahun, seluruh rambutnya telah
resmi memutih hingga tak menyisakan tempat untuk rambut hitamnya tumbuh. Ada
sedikit jenggot yang bergelayut ke bawah, sekitar satu jengkalan tangan.
Walaupun
umur telah termakan oleh waktu yang membuatnya semakin tua, namun semangat dan
juga kerja kerasnya tak kalah dengan anak-anak muda. Seluruh santri di pondok
ini sangat menghormati Pak Kyai Rofi’i.
“Has?
Aku takut kalau pondok ini harus mati seperti dulu?” Akhirnya Pak Kyai membuka
perbincangan malam ini, setelah berjalan bersamaan dengan Hasan tanpa sepatah
kata apapun. Hasan hanya diam mendengarkan.
Pondok
yang sekarang ini menjadi tempat Hasan belajar dari titik nol yang tak tahu
agama sama sekali hingga memiliki banyak ilmu dan pengetahuan. Hasan tak pernah
menyangka, jika pondok ini pernah mati. Mati bagaikan bangkai yang tak ada
nilainya, mati bagaikan malam yang tak berganti siang kembali.
Kakek
buyut Kyai Rofi’i adalah pendiri Pondok As-Sholihin pertama kali, dikenal
dengan nama Kyai Rifa’i. Dikarenakan tak ada yang bisa meneruskan dan mengemban
kelanjutan pondok ini, akhirnya pondok ini sempat berhenti hingga tak ada satu
Kyai pun disini.
Peperangan
saudara yang terjadi, serta perebutan tanah pondok menjadi pemicu pertama perpecahan
pondok ini. Kebersamaan serta kerja sama antara saudara seharusnya menjadi tolak
ukur berkembangnya pondok menjadi lebih maju. Namun, keegoisan antara satu sama
lain justru membebankan perjuangan dan menghancurkan persaudaraan.
Hingga
akhirnya pondok ini harus mati karena tak ada lagi yang mau meneruskan
perjuangan serta pendidikan yang harus ditanamkan kepada santri-santrinya.
Tiba-tiba
Pak Kyai mengambil sarang burung yang jatuh tepat di depannya, kemudian
berusaha untuk meletakkannya ke atas pohon kembali. Apa daya tak ada kuasa, Hasan
dengan sigap mengambil dan meletakkannya ke atas pohon.
“Seperti
sarang burung itu, Has. Dulu aku mengangkat kembali pondok ini setelah terjatuh
ke tempat yang benar-benar paling bawah.” Kata Pak Kyai sambil tetap melihat
sarang burung yang baru saja diletakkan oleh Hasan.
Setelah
masa beberapa periode, sekitar sepuluh tahun setelah berhentinya Pondok
As-Sholihin dari masa pendidikan dan pengajaran. Pak Kyai Rofi’i kembali
membangkitkan dan membuka kembali pondok ini. Itu bukan keinginaan Pak Kyai,
namun karena saking banyaknya santri yang belajar dan minta diajarkan ilmu agama
kepadanya.
Pak
Kyai Rofi’i berinisiatif untuk mengembangkan dan membangkitkan kembali Pondok
As-Sholihin yang telah mati sekitar sepuluh tahun silam. Hingga akhirnya
berjalan dengan baik sampai hari ini.
Kini
Pak Kyai sudah mulai rapuh dan renta, tangannya yang dulu kekar dan kuat telah
menampakkan banyak keriput kelelahan dan perjuangan. Badannya yang tegap dan
gagah, kini telah nampak bungkuk dan lemah.
Satu
ketakutan yang sekarang menggandrungi pikiran Pak Kyai, yaitu ketakutan terhadap
pondoknya yang akan kembali mati setelah dibangkitkan lagi. Teringat akan
perjuangan Kyai Rifa’i dari cerita kakek Pak Kyai, perjuangan melawan para
penjajah yang ingin menghancurkan pondok ini, pembelaan yang dilakukan untuk
mempertahankan pondok ini.
Namun
hanya karena keserakahan dan juga rasa ingin menang sendiri disertai dengan
keegoisan yang membabi buta, membuat semua perjuangan dan juga kerja keras tak
ada arti dan juga nilai juangnya lagi. Mana bentuk kepedulian mereka? Dimana letak
hati kecil mereka?
Andai
kata ketika itu Kyai Rifa’i memiliki badan wakaf penerus estafet perjuangan dan
juga pendidikan di Pondok As-Sholihin, maka tidak akan pernah terjadi
perpecahan dan juga perang saudara di antara keturunan Kyai Rifa’i. Perpecahan
dan juga kehancuran yang menjadi faktor penyebab kematian pada Pondok
As-Sholihin ini.
“Has?
Kamu adalah muridku paling senior disini. Apakah kamu mau meneruskan pondok ini
jika nanti aku sudah tak sanggup lagi memimpin pondok ini?” Ucapan Pak Kyai
benar-benar mengagetkan, Hasan hanya bisa menundukkan kepala dan terbalut dalam
diam.
Hasan
Putra adalah mantan anak metropolitan yang sangat berandal, mantan pemakai
barang-barang terlarang. Bahkan hampir dimasukkan kedalam penjara disebabkan
oleh sebuah kasus karena dia menjadi dalang tawuran anak SMA ketika itu.
Karena
janjinya kepada orang tuanya jika tidak jadi masuk penjara, dia akan tobat dan
berubah menjadi anak yang baik dan berbakti kepada kedua orang tuanya yang kini
telah tiada.
“Memang
tak mudah untuk memahami seluruh isi yang ada di pondok ini, apalagi meneruskan
kejalan yang sama jalurnya seperti sebelumnya. Namun aku percaya kepadamu Has,
kamu bisa mengembangkan dan memajukan pondok ini.” Pak Kyai memegang pundak
kanan Hasan dengan tangan kanannya sambil masih memegang tongkat pada tangan
kirinya.
Tanpa
disadari, Hasan menitikkan air mata.
“Tapi
Pak Kyai?” Hasan hampir saja mengeluh.
“Apakah
kamu mau membiarkan pondok ini menjadi bangkai lagi? Menjadi sampah yang sama
sekali tidak memiliki nilai?” Raut wajah Pak Kyai tergambar jelas di mata Hasan.
“Bismillah
Pak Kyai, saya siap.” Hasan menjawabnya dengan tegas dan penuh keyakinan kepada
Kyainya.
Amanat
adalah sesuatu yang sangat sakral dan memiliki nilai yang sangat tinggi. Tak
mudah untuk mengemban amanat yang besar seperti berjuang di dalam pondok ini.
Namun dengan jiwa yang kuat dan tekad yang tinggi. Bismillah, insyaAllah
semuanya menjadi mudah karena niat beribadah hanya kepada Allah Subhanahu
wata’ala.
Lillahi
ta’ala.
~SELESAI~
No comments:
Post a Comment