Selalu Sertakan Allah Dalam Setiap Langkah Kaki Berpijak

Wednesday, 17 February 2016

GENERASI PENERUS SEJATI



BANGKIT SETELAH MATI
Terangnya cahaya lampu di malam ini tak seterang biasanya. Balutan angin malam yang terus berhembus dan menempel kulit yang tipis. Sayup-sayup udara malam membawa nyanyian sunyi serangga kecil yang mengusik keheningan.
Sepasang kaki terus berjalan diantara terangnya bulan dan bintang. Namun malam ini, bulan tak bersinar seperti biasanya dan tak sebenderang seperti sedia kala. Bintangpun yang biasa bertebaran di seluruh jajaran langit luas, hanya nampak hitungan jari saja.
Ada apa dengan malam ini?
Tok.. tok.. tok.. tok..
Langkah kaki seorang paruh baya dan juga tongkat tuanya yang selalu menemani. Terdengar alus dan berirama rapi, tidak cepat, tetapi juga tidak lambat. Pelan tapi pasti.
“Assalamu’alaikum, Pak Kyai?” Sapa Hasan, salah seorang santri didikan Pak Kyai.
“Wa’alaikumsalam. Apa yang kamu lakukan di sini, Has?” Jawab Pak Kyai dengan disertai pertanyaan yang sebenarnya ingin ditanyakan Hasan kepadanya.
“Saya baru saja dari kaHas mandi. Pak Kyai sendiri sedang apa malam-malam berjalan sendirian? Udara sangat dingin dan pak Kyai tak memakai jaket? Biar saya ambilkan baju hangat untuk Pak Kyai.” Ucap Hasan panjang lebar, runtut dan juga penuh kesopanan terhadap Kyainya.
“Tidak usah. Aku hanya ingin melihat pondokku saat malam hari.” Ucap Pak Kyai tanpa basa-basi.
“Kalau begitu, apakah saya boleh ikut Pak Kyai?” Hasan menawarkan diri untuk menjadi teman berbincang malam itu. Pak Kyai hanya membalasnya dengan senyuman tanda persetujuan.
Pondok As-Sholihin adalah sebuah pondok salafi yang dibangun oleh kakek buyut Pak Kyai, ketika itu masih masyhur di zaman sebelum merdeka. Kyai Rofi’i adalah nama akrab yang sering terlantunkan di dalam lisan para santri.
Umurnya telah renta, hampir mencapai sembilan puluh tahun, seluruh rambutnya telah resmi memutih hingga tak menyisakan tempat untuk rambut hitamnya tumbuh. Ada sedikit jenggot yang bergelayut ke bawah, sekitar satu jengkalan tangan.
Walaupun umur telah termakan oleh waktu yang membuatnya semakin tua, namun semangat dan juga kerja kerasnya tak kalah dengan anak-anak muda. Seluruh santri di pondok ini sangat menghormati Pak Kyai Rofi’i.
“Has? Aku takut kalau pondok ini harus mati seperti dulu?” Akhirnya Pak Kyai membuka perbincangan malam ini, setelah berjalan bersamaan dengan Hasan tanpa sepatah kata apapun. Hasan hanya diam mendengarkan.
Pondok yang sekarang ini menjadi tempat Hasan belajar dari titik nol yang tak tahu agama sama sekali hingga memiliki banyak ilmu dan pengetahuan. Hasan tak pernah menyangka, jika pondok ini pernah mati. Mati bagaikan bangkai yang tak ada nilainya, mati bagaikan malam yang tak berganti siang kembali.
Kakek buyut Kyai Rofi’i adalah pendiri Pondok As-Sholihin pertama kali, dikenal dengan nama Kyai Rifa’i. Dikarenakan tak ada yang bisa meneruskan dan mengemban kelanjutan pondok ini, akhirnya pondok ini sempat berhenti hingga tak ada satu Kyai pun disini.
Peperangan saudara yang terjadi, serta perebutan tanah pondok menjadi pemicu pertama perpecahan pondok ini. Kebersamaan serta kerja sama antara saudara seharusnya menjadi tolak ukur berkembangnya pondok menjadi lebih maju. Namun, keegoisan antara satu sama lain justru membebankan perjuangan dan menghancurkan persaudaraan.
Hingga akhirnya pondok ini harus mati karena tak ada lagi yang mau meneruskan perjuangan serta pendidikan yang harus ditanamkan kepada santri-santrinya.
Tiba-tiba Pak Kyai mengambil sarang burung yang jatuh tepat di depannya, kemudian berusaha untuk meletakkannya ke atas pohon kembali. Apa daya tak ada kuasa, Hasan dengan sigap mengambil dan meletakkannya ke atas pohon.
“Seperti sarang burung itu, Has. Dulu aku mengangkat kembali pondok ini setelah terjatuh ke tempat yang benar-benar paling bawah.” Kata Pak Kyai sambil tetap melihat sarang burung yang baru saja diletakkan oleh Hasan.
Setelah masa beberapa periode, sekitar sepuluh tahun setelah berhentinya Pondok As-Sholihin dari masa pendidikan dan pengajaran. Pak Kyai Rofi’i kembali membangkitkan dan membuka kembali pondok ini. Itu bukan keinginaan Pak Kyai, namun karena saking banyaknya santri yang belajar dan minta diajarkan ilmu agama kepadanya.
Pak Kyai Rofi’i berinisiatif untuk mengembangkan dan membangkitkan kembali Pondok As-Sholihin yang telah mati sekitar sepuluh tahun silam. Hingga akhirnya berjalan dengan baik sampai hari ini.
Kini Pak Kyai sudah mulai rapuh dan renta, tangannya yang dulu kekar dan kuat telah menampakkan banyak keriput kelelahan dan perjuangan. Badannya yang tegap dan gagah, kini telah nampak bungkuk dan lemah.
Satu ketakutan yang sekarang menggandrungi pikiran Pak Kyai, yaitu ketakutan terhadap pondoknya yang akan kembali mati setelah dibangkitkan lagi. Teringat akan perjuangan Kyai Rifa’i dari cerita kakek Pak Kyai, perjuangan melawan para penjajah yang ingin menghancurkan pondok ini, pembelaan yang dilakukan untuk mempertahankan pondok ini.
Namun hanya karena keserakahan dan juga rasa ingin menang sendiri disertai dengan keegoisan yang membabi buta, membuat semua perjuangan dan juga kerja keras tak ada arti dan juga nilai juangnya lagi. Mana bentuk kepedulian mereka? Dimana letak hati kecil mereka?
Andai kata ketika itu Kyai Rifa’i memiliki badan wakaf penerus estafet perjuangan dan juga pendidikan di Pondok As-Sholihin, maka tidak akan pernah terjadi perpecahan dan juga perang saudara di antara keturunan Kyai Rifa’i. Perpecahan dan juga kehancuran yang menjadi faktor penyebab kematian pada Pondok As-Sholihin ini.
“Has? Kamu adalah muridku paling senior disini. Apakah kamu mau meneruskan pondok ini jika nanti aku sudah tak sanggup lagi memimpin pondok ini?” Ucapan Pak Kyai benar-benar mengagetkan, Hasan hanya bisa menundukkan kepala dan terbalut dalam diam.
Hasan Putra adalah mantan anak metropolitan yang sangat berandal, mantan pemakai barang-barang terlarang. Bahkan hampir dimasukkan kedalam penjara disebabkan oleh sebuah kasus karena dia menjadi dalang tawuran anak SMA ketika itu.
Karena janjinya kepada orang tuanya jika tidak jadi masuk penjara, dia akan tobat dan berubah menjadi anak yang baik dan berbakti kepada kedua orang tuanya yang kini telah tiada.
“Memang tak mudah untuk memahami seluruh isi yang ada di pondok ini, apalagi meneruskan kejalan yang sama jalurnya seperti sebelumnya. Namun aku percaya kepadamu Has, kamu bisa mengembangkan dan memajukan pondok ini.” Pak Kyai memegang pundak kanan Hasan dengan tangan kanannya sambil masih memegang tongkat pada tangan kirinya.
Tanpa disadari, Hasan menitikkan air mata.
“Tapi Pak Kyai?” Hasan hampir saja mengeluh.
“Apakah kamu mau membiarkan pondok ini menjadi bangkai lagi? Menjadi sampah yang sama sekali tidak memiliki nilai?” Raut wajah Pak Kyai tergambar jelas di mata Hasan.
“Bismillah Pak Kyai, saya siap.” Hasan menjawabnya dengan tegas dan penuh keyakinan kepada Kyainya.
Amanat adalah sesuatu yang sangat sakral dan memiliki nilai yang sangat tinggi. Tak mudah untuk mengemban amanat yang besar seperti berjuang di dalam pondok ini. Namun dengan jiwa yang kuat dan tekad yang tinggi. Bismillah, insyaAllah semuanya menjadi mudah karena niat beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Lillahi ta’ala.

~SELESAI~


No comments:

Follow Us @cha2kiyut