Selalu Sertakan Allah Dalam Setiap Langkah Kaki Berpijak

Monday, 22 February 2016

Short Story

MUTIARA PERJUANGAN

Islamabad (Pakistan), 10 April 2004
Birunya laut menggambarkan hati yang lapang. Cerahnya langit melukiskan tenangnya pikiran dan jiwa. Indah. Tak ada yang bisa menandingi indah dan menawannya goresan tinta dari Sang Kuasa. Alhamdulillah, itulah kalimat kesyukuran yang terucap dari lisan setiap manusia yang telah merasakan indahnya rencana dan takdir Allah Subhanahu wata’ala.
Gedung pencakar langit nampak di depan mata, hembusan angin kencang menerpa wajah dan tubuh yang berdiri tegap. Menimbulkan bunyi siulan di telinga, menyibakan rambut serta mengibaskan baju yang membalut tubuh.
Kilauan bola-bola kecil mengintip keluar dari ujung kelopak mata.
“Aah,, aku kangen Ibu.” Desah Ammar dalam hati.
Ammar meraba saku almamater Perguruan Tinggi Islamabaad yang ia kenakan. Mencari benda kecil yang dapat mengeluarkan suara Ibunya ketika di pencet kanan ke kiri, atas lalu ke bawah. Tak lama, selang beberapa detik suara yang dirindukannya terdengar dari seberang.
“Assalamu’alaikum, Ammar.?” Sapa Ibu Ammar membuka percakapan.
“Wa’alaikumussalam, Bu. Bagaimana kabarnya?” Kebahagiaan Ammar tak terkira, hingga tanpa sadar air matanya ikut meleleh merasakan kelegaan hatinya.
“Alhamdulillah sehat wal’afi’at. Bagaimana dengan ujian tesis kamu, Nak?” Antusiasme dari Ibu Ammar juga tak kalah, untuk menanyakan kabar kelulusan Ammar untuk mencapai gelar Master di Negri Pakistan.
“Alhamdulillah, ujian berjalan dengan lancar dan Ammar dinyatakan lulus dengan predikat terpuji.” Ucap Ammar sambil mengusap air mata yang sedari tadi terus mengalir.
Subhanallah, anak Ibu memang sangat membanggakan. Alhamdulillah, sekarang Ibu juga sudah bisa buka toko. Berkat beasiswa dari kamu, Nak.” Terdengar isak kebahagiaan dari kata-kata yang diucapkan Ibu Ammar, pengungkapan kebahagiaan dari berita alam dan sekaligus dari realita kehidupan.
Hakikat manusia memang diciptakan untuk mengeluh. Namun, keluhan apa dan keluhan seperti apa yang terlontar dari lisan-lisan yang lembut tak bertulang. Manusia juga terlahir dengan banyak rencana kehidupan, namun siapakah penentu semua takdir? Ya, kita tahu bahwa Dialah penentunya, Allah Subhanahu wata’ala.
Kehidupan Ammar yang terlihat dan terdengar sekarang, tak seindah dan tak secerah seperti kenyataannya. Banyak butiran air mata yang menyertai perjuangan Ammar, banyak tetesan keringat yang telah jatuh membasahi bumi untuk menunjukkan arti sebuah pengorbanan.
***
Darul Amanah, 11 Agustus 1998
Pancaran sinar mentari siang ini benar-benar menyilaukan mata, membuat tangan sibuk menutupi mata dari sengatannya. Bergelut dengan panas yang menyisik kulit sampai ke tulang-tulangnya. Sesekali tetesan keringat menetes dari dahi turun ke dagu, dari pundak turun ke tangan, bahkan dari rambut turun ke tanah.
Heran sekali. Mengapa sepoinya angin sama sekali tak menyapa siang ini? Dedaunan tak silih bergoyang, ranting serta dahan pohon tak jua bersapa. Semua diam, laksana ada remote control yang mengendalikan semua keadaan yang sekarang nampak di depan mata.
Kicauan burung yang biasanya terdengar diantara cela-cela pepohonan sama sekali tak memperlihatkan keceriaan mereka. Nyanyian rumput yang terkadang mendayu-dayu karena sapaan angin kini juga tak terlihat. Sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan hari ini?
Gemericik aliran sungai nampak alus dan tenang. Biasanya terlihat ikan-ikan kecil berlarian menghempaskan sirip mereka hingga orang-orang menyebutnya dengan berenang. Pantulan sinar matahari menimbulkan biasan cahaya indah ke dalam air itu hingga terbentuk sebuah cahaya yang biasanya disebut dengan pembiasan cahaya pelangi.
Tetapi kali ini, aku sama sekali tak melihat ikan-ikan kecil muncul di perairan, walaupun sekedar untuk mengintip atau berpindah tempat dari batu yang satu ke tempat yang lainnya. Kemana perginya mereka? Apakah mereka sudah terangkat dari sungai ini? Apakah sekarang mereka sudah siap saji berada di atas meja makan?
Apakah ada sesuatu yang salah? Apakah ada kejanggalan dari sebelumnya?
Bumi dan langitpun tak mengetahuinya.
“Mar? Ngapain kamu ngelamun disini?” Sebuah suara mengagetkan Ammar yang terduduk sambil merenung dibawah saung kecil dekat sungai. Ammar tak bergeming.
“Woy, ditanya kok diem aja?” Ammar masih tetap membisu tanpa kata, walaupun sekarang dirasa ada rangkulan tangan yang melingkar di pundaknya.
“Aku sedang galau.” Ucapnya singkat.
“Hari gini, mahasiswa aktif dan berprestasi galau?!” Kata-kata Ammar ditimpali olehnya.
“Karena kamu tak tahu apa yang aku alami, Yus.” Ucap Ammar kepada Yusron, teman karibnya di kelas sekaligus teman sebangku Ammar. Yusron hanya bisa diam tak berkutik, karena memang kata-kata terakhir Ammar adalah benar.
***
Semuanya berawal dari pengabdian setelah lulus belajar di Madrasah Aliyah, Pondok Al-Iman. Ammar Ma’ruf adalah siswa yang aktif serta berprestasi ketika itu, hingga sampai sekarang yang telah menginjak usia di bangku perkuliahan.
Amanat yang diberikan kepada Ammar dari pondok adalah mengabdikan diri untuk mengajar dan belajar di Pondok Darul Amanah yang bertempat di Sulawesi. Mungkin pada awalnya ada sedikit rasa penyesalan dalam dirinya, mengapa dirinya –seperti- di buang ke tempat yang sangat terpencil ini?
Namun, semua pemikiran melenceng itu Ammar singkirkan dan selalu berpikir positif serta yang baik-baik. Berarti Pondok mempercayai dirinya untuk mengembangkan dan memajukan pondok yang masih sangat awam ini. Ammar selalu ingat petuah dari Bapak Kyai, ‘Orang besar itu bukanlah seorang pejabat tinggi, tetapi orang besar itu ialah orang yang mau mengajar di surau kecil di daerah terpencil.’
“Mar? Mau berangkat kuliah jam berapa?” Pertanyaan pertama yang terlontar dari bibir Akmal kepada Ammar.
“Lima menit lagi, aku sedang mempersiapkan bahan untuk presentasi hari ini.” Ucap Ammar tanpa melihat ke arah Akmal.
“Oh iya, tugas ilmiah dari Pak Hardi ya? Berarti minggu depan giliranku?!” Seru Akmal tercengang sesaat, karena dirinya belum mempersiapkan presentasi tugasnya sama sekali.
“Yuk berangkat!” Ajak Ammar tiba-tiba, tanpa peduli pada Akmal yang terdiam.
Perjalanan Ammar dan Akmal menuju tempat perkuliahan dari Pondok Darul Amanah memakan waktu yang cukup lama, sekitar dua jam lebih. Dikarenakan kendaraan umum yang jarang beroperasi, dan belum adanya kendaraan pribadi yang mereka miliki. Pesan Pak Kyai dalam setiap nasehatnya adalah ‘Bondo, Bahu, Pikir, Lek Perlu Sak Nyawane Pisan.’
Kawasan pepohonan yang membentuk rimbanya hutan mereka berdua lalui setiap harinya demi menempuh pendidikan yang layak. Memang akan menempuh perjalanan yang mengeluarkan tenaga serta keringat yang lebih dari mahasiswa di kota.
Tak seperti Universitas Gajah Mada yang sangat terkenal, bukan juga seperti Universitas Muhammadiyyah Malang yang tak asing terdengar di telinga. Tempat perkuliahan Ammar dan Akmal masih kecil dan belum terkenal sampai keluar daerah Sulawesi. Walaupun begitu, mereka tak pernah merasa kecil ataupun minder dengan teman-teman satu angkatan dulu ketika di Pondok Al-Iman.
Dua setengah jam berlalu, akhirnya Ammar dan Akmal telah sampai di Universitas Stainu Makassar. Sampai di kelas, Ammar langsung menjelaskan dan mempresentasikan tugas yang telah dipersiapkannya.
Tepuk tangan menyambut dan mengakhiri presentasi Ammar.
“Kerja yang bagus, Ammar. Berapa hari kamu persiapkan tugas ini, Mar?” Tanya Pak Hardi, dosen pelajaran Tasawuf.
“Sekitar dua minggu sebelum ini Pak.” Ucap Ammar apa adanya.
“Subhanallah, persiapan yang mantap. Yang lainnya contohlah Ammar, walaupun sibuk dengan mengajar, tapi dia masih bisa maksimal dalam perkuliahan.” Puji Pak Hardi kepada Amamr, Ammar hanya diam.
“Kenapa kau tak ajak aku, Mar?” Ucap Akmal.
“Dari kemarin kau sibuk dengan Muhadi buat lagu. Aku tak mau ganggu.” Ammar hanya menjawab sekenanya, karena tak bisa memungkiri dengan apa yang dikerjakan teman karibnya ini.
Pertengkaran kecil dan perhelatan lisan biasa terjadi antara Akmal dan Ammar, memang itulah yang dinamakan bumbu persahabatan. Akan banyak ide dan juga pendapat antara satu sama lain. Antara baik dan tidak terkadang bisa saja bercampur menjadi satu, hanya ingat satu pesan. Jangan pernah berhenti ketika ada masalah.
Kawasan universitas yang sederhana juga nyaman, membuat semua mahasiswa merasa betah belajar di Universitas ini. Memang belum nampak dan muncul para alumni-alumni dari universitas ini yang menjadi unggulan dan terkenal. Namun, sudah mencetak lebih dari ratusan sarjana pendidikan.
Salah satunya adalah Pak Hardi salah satu dosen di Universitas Stainu Makassar. Dosen paling terkenal karena kecerdasannya dan juga kecermatan ide-ide serta inspirasi yang diberikan untuk mahasiswa dan juga mahasiswinya.
Masih bersyukur Ammar dan Akmal diberi kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi ini, walaupun masih dalam masa pengabdian. Namun, dari hal inilah yang membuat Ammar menjadi bimbang dengan masa perkuliahannya yang –notabene- agaknya masih belum jelas arah dan juga tujuannya. Antara melanjutkan pembelajaran ini atau berhenti pengabdian dan meneruskan kuliah di tempat lain, atau lebih tepatnya di kota daripada di pelosok desa yang tak jelas dan bahkan tak terlalu dikenal.
Sikap Ammar yang mudah bergaul dan juga supel sebenarnya tak pernah mempersulit dirinya untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Mungkin karena faktor lain yang terkadang membuat hatinya goyah dan berbolak-balik.
Jika dibandingkan dengan Akmal, Ammar lebih baik. Lebih baik disini bukan dari segi pergaulan ataupun kemajuan dalam beradaptasi dengan lingkungan. Ammar selalu menganggap hal yang kecil-kecil itu penting. Itu yang selalu ditanamkan Ammar dalam setiap hal yang dia kerjakan, karena nasehat Pak Kyai, “Pondok besar karena memperhatikan hal yang kecil-kecil.” Ammar selalu mengingat hampir semua nasehat-nasehat dan petuah dari pak Kyai, agar ketika keluar nanti dari pondok bisa menjadi orang, bukan beban.
“Ammar? Boleh minta penjelasan dari tugas Pak Hardi tadi?” Tanya Siti Sarah, teman sekelas Ammar, Ammar terdiam sejenak hingga akhirnya dia tersadar.
“Astaghfirullahal’adzim,. Iya.” Ammar spontan menjawab.
Satu kelemahan Ammar ketika berada di kawasan perkuliahan, yaitu ketika berhadapan dengan makhluk lawan jenis. Terbiasa dengan keadaan yang berhadapan dan berinteraksi dengan laki-laki membuat Ammar takut untuk mendekati makhluk yang dikenal dengan nama perempuan. Walaupun orang lain selalu menganggapnya enteng dan meremehkan Ammar, tetapi ya begitulah Ammar.
Walaupun pertamanya terasa canggung, namun Ammar mencoba menyesuaikan diri untuk membiasakan diri berinteraksi dengan perempuan. Karena Ammar sadar, masa depannya pasti akan bersama perempuan juga.
“Mar? Kau sudah lihat kabar terbaru minggu ini?” Tiba-tiba Akmal datang dan mengagetkan Ammar yang sedang menjelaskan pelajaran kepada Siti Sarah.
“Memangnya apa, Mal?” Ammar berbalik bertanya kepada Akmal sebagai respon dari teman karibnya itu.
“Pendaftaran beasiswa perkuliahan di Al-Azhar Mesir dibuka lagi. Kali ini kesempatan kita. Kau mau?” Akmal menawarkan kesempatan besar yang selama ini di nantikan oleh Ammar, Akmal dan juga mahasiswa lainnya di Universitas Stainu ini.
“Benarkah?” Siti Sarah spontan terkejut dengan kabar yang dibawa Akmal, malahan Ammar tak berekspresi sama sekali.
“Tapi, aku tak yakin akan masuk? Karena kemarin kita gagal.” Ammar mulai menciut dan mengeluh.
“Bukankah katamu, kegagalan itu awal mula dari keberhasilan?” Siti Sarah mencoba mnguatkan dan mendukung Ammar.
“Kamu adalah murid teladan lagi pintar, kita bisa belajar bersama untuk mencapai tujuan kita. Bagaimana, Mar?” Akmal masih belum menyerah untuk mengajak sahabat karibnya ini.
“Bolehkah aku, Riris dan Haikal ikut bersama kalian berdua?” Ucap Siti Sarah meminta izin kepada Ammar dan Akmal.
“Oh ya? Mengapa tidak, kita bisa bersama-sama ke Mesir.” Akmal menimpali Siti Sarah dengan senyuman.
Semenjak hari itu, Ammar dan keempat temannya membentuk sebuah team sukses untuk mencapai beasiswa ke Al-Azhar Mesir. Kekurangan demi kekurangan, mereka lengkapi satu sama lain. Kelebihan yang dimiliki, masing-masing saling membagikan.
Ammar, Akmal, Siti Sarah, Riris, dan Haikal. Lima mahasiswa yang memiliki karakter sangat berbeda antara mereka, memiliki ide-ide dan inspirasi yang bertentangan pula. Namun, mereka disini memiliki satu tujuan yang sama, tujuan yang ingin mereka capai dari dulu yaitu kuliah di Al-Azhar Mesir.
Dari tempat tongkrongan yang dulunya di kantin, di taman dan juga di lapangan basket. Tempat mereka berpindah menjadi di perpustakaan kampus. Waktu istirahat dan waktu luang selalu mereka sempatkan untuk mengunjungi tempat yang penuh dengan sejuta buku yang berwarna-warni dan bermacam-macam.
Salah satu faktor yang membuat Ammar sangat bersemangat untuk mendapatkan beasiswa ini adalah faktor keluarganya yang berasal dari kalangan rakyat berekonomi bawah. Antusiasme dari Ammar, anak paling cerdas dan pintar membuat yang lainnya termotivasi dan terdorong untuk tidak mau kalah dengannya. Ammar yang sedari dulu menginginkan beasiswa ini, tak pernah menyerah walaupun telah dua kali gagal mengikuti ujian beasiswa ke Al-Azhar Mesir.
Ammar juga menyempatkan diri untuk belajar di sela-sela waktunya mengajar di Pondok Darul Amanah. Setiap waktu luang yang dia temui, tangannya tak pernah kosong dari buku, matanya tak pernah lekang dari buku berbahasa arab yang dia baca untuk mempermudahkannya dalam ujian beasiswa yang dinantikannya.
Pagi, siang, malam Ammar lalui dengan belajar demi mendapatkan beasiswa yang sangat diinginkannya. Terkadang membuat Akmal heran dan bingung sendiri, karena dengan kesibukan yang hampir sama mereka lalui. Namun, Ammar masih sempat untuk menyempilkan –kata- belajar dalam setiap waktunya. Sedangkan dirinya masih sulit untuk membagi waktu untuk mengajar, belajar dan lain sebagainya. Begitulah, lain Ammar lain Akmal.
“Ammar, bisakah kau jelaskan tentang bab ini?” Pinta Riris kepada Amamr di tengah-tengah kegiatan belajar kelompok mereka.
“Ehmm.. Begini....” Ammar menjelaskan dengan runtut, jelas, tanpa berbelit-belit.
Diantara Ammar, Akmal, Siti Sarah, Riris dan Haikal, memang Ammar yang paling pintar dalam segala hal. Pelajaran apapun Ammar bisa jelaskan kepada teman-temannya. Sampai-sampai banyak dosen yang kagum terhadap dirinya.
Walau begitu, Ammar tak pernah merasa besar kepala. Tak pernah terbesit sedikitpun kata ke-sombong-an dalam hati dan jiwanya. Menurut Ammar apalah arti kepintaran dan kecerdasan jika tanpa Tuhan yang memberikan. Itu semua bukan dari dirinya bahkan bukan pula miliknya namun karunia dan berkah dari Allah Subhanahu wata’ala.
Sesekali Haikal menjadi guru dalam kelompok belajar mereka, namun paling sering Ammar menjadi guru –muahil haqiqi- untuk semua mata perkuliahan dan bahan untuk ujian ke Al-Azhar Mesir itu.
Satu sama lain dari mereka saling memotivasi dan memberikan dorongan serta kesan positif untuk kesemangatan menuntut ilmu di Negri Padang Pasir. Walaupun terkadang iman menjadi goyah dan tekad menjadi ciut karena kegagalan yang selalu menjadi bayangan semu dalam setiap malam dan mimpi-mimpi mereka.
Karena sebuah kerpercayaan yang tinggi dan mengikat persahabatan mereka, hingga tak akan tumbang walaupun badai ketakutan dan angin kekhawatiran melanda pohon persahabatan mereka. Mereka kuat karena persatuan, mereka bersama karena doa.
Tepat satu bulan telah berlalu, tepat pula hari dimana pengumuman hasil seleksi ujian beasiswa yang telah diselenggarakan. Hati deg-degan serasa ingin meloncat keluar, tangan bergetar, kaki ikut menengang, bibir tak berhenti berbisik kalimat dzikir dan istighfar.
Kesempatan beasiswa hanya setahun sekali, andaikan tidak masuk seleksi tahun ini, berarti harus siap menantikan seleksi tahun depannya lagi. Diterima ataupun tidak, itu adalah takdir terbaik dari Allah Subhanahu wata’ala.
Akmal berjalan sempoyongan menuju kerumunan sahabatnya. Ekspresi tubuhnya memberikan sinyal tidak sedap untuk didengar, berita yang kurang baik untuk diterima.
“Akmal? Bagaimana hasilnya?” Teriak Haikal yang tidak sabar menantikan pengumuman seleksi ujiannya.
“Kau lihat sendiri saja lah!” Akmal memberikan secarik kertas berisikan nama-nama mahasiswa yang lolos seleksi ujian untuk beasiswa ke Al-Azhar Mesir.
Setelah beberapa detik membaca, senyuman Siti Sarah muncul. Tak berapa lama Riris juga menyunggingkan segaris senyuman. Begitu juga dengan Haikal yang melongo tak percaya bahwa dirinya lolos seleksi. Namun,..
Astaghfirullahl’adzim. Aku tidak menemukan nama Ammar di sini.” Ucap Siti Sarah dengan nada sedikit berbisik.
Haikal melotot dan terkejut tanda tak percaya.
Senyuman Riris langsung padam, dan hampir menitikkan air mata.
Akmal dengan sigap merangkul pundak Ammar, sahabat karib yang selalu mendukungnya dan memberikan motivasi, sekaligus guru dalam kelompok belajar bersama mereka. Sahabat yang ternyata malah tidak lolos seleksi ujian beasiswa ke Al-Azhar Mesir.
Ammar mencoba tegar dan tabah, walaupun harus merelakan keempat sahabatnya untuk berangkat bersama ke Negri Padang Pasir tanpa dirinya. Ammar tak mampu meneteskan air mata, hanya diam membisu tak berkutik. Untuk saat ini hanya kalimat istighfar yang keluar dari lisannya, namun Ammar tak pernah lupa dengan –kalimat- bersyukur dalam hati.
“Aku enggak mau berangkat tanpamu, Mar.” Ucap Akmal tiba-tiba. Ammar terkejut melihat raut muka sahabat karibnya.
“Enggak boleh. Kalian harus tetap berangkat. InsyaAllah, aku akan menyusul kalian tahun depan.” Kata Ammar penuh ketenangan dan ketegaran, tanpa rasa sedih dan raut yang malang.
Luapan kesedihan hanya Ammar ungkapkan di setiap sujudnya kepada Yang Esa. Ammar tak pernah menampakkan wajah kesedihan apalagi murung yang berlarut-larut. Ammar percaya bahwa ini memang yang terbaik dari Allah untuk dirinya, untuk pengabdiannya di Pondok Darul Amanah ini.
Sampai di hari keberangkatan keempat sahabatnya ke Al-Azhar Mesir. Ammar selalu setia menemani mereka dari mengurus paspor, visa dan surat-surat keterangan lainnya, hingga mengantarkan kepergian mereka dari Negara tercinta Indonesia menuju ke tempat perantauan sekaligus tempat belajar di Al-Azhar Mesir.
***
“Sebab itukah kau jadi murung seperti ini?” Yusron mencoba menghibur Ammar yang telah kehilangan senyuman di bibirnya.
“Aku juga bingung antara mau pulang atau tetap disini.?” Kedua bola mata Ammar mulai memperlihatkan bulir-bulir butiran kilauan air mata. Yusron berpikir dalam.
“Sekarang Ibuku sendirian dirumah bersama kedua adik kecilku, tak ada yang membiayai keluargaku. Karena... Karena...” Suara Ammar mulai terbata-bata hingga akhirnya air mata Ammar meleleh di hadapan Yusron tanpa permisi.
“Bapakku pergi dengan wanita lain.” Setelah sekian lama, akhirnya air mata Ammar meluap dan membanjiri pipinya.
“Apakah kau lupa denganku?” Yusron membalik paksa badan Ammar dan membuatnya berhadapan dengan wajahnya. Ammar hanya terdiam melihat Yusron.
“Sahabat yang selalu siap membantumu. Jangan pernah merasa bahwa masalah yang datang kepadamu adalah penghalang untuk mencapai cita-cita dan impian yang selama ini kau inginkan. Aku percaya kau bisa menghadapi semua ini, masih ada aku yang akan selalu setia bersamamu, Mar.” Yusron menghibur kemalangan sahabat karibnya, Ammar.
Persahabatan yang sesungguhnya adalah jalinan antara kita dengan sahabat yang selalu mendorong kita kepada kebaikan dan membawa kita kepada kesyukuran atas nikmat Illahi Robbi. Sahabat yang selalu menguatkan kita ketika kita layu, sahabat yang membangkitkan kita ketika kita terjatuh.
Kini Ammar menyadari bahwa keterpurukan dirinya malah akan menambahkan masalah yang mengurung dirinya kedalam jiwa yang kufur, tanpa rasa bersyukur.
Berkat sahabatnya, Yusron. Ammar yakin bahwa suatu saat nanti Allah Subhanahu wata’ala akan memberikan hadiah terindah bahkan lebih indah dari mimpi-mimpinya selama ini.
***
Makassar, 07 Agustus 2002
Tahun demi tahun, Ammar dilalui dengan doa dan juga tawakkal. Ammar tetap menguatkan diri untuk melanjutkan perkuliahannya hingga selesai, sampai Ammar akan mencapai kehidupan yang layak nantinya. Untuk masa depan Ammar, untuk Ibunya, dan terutama untuk masa depan kedua adiknya.
Setelah selesai melalui ujian skripsi dan meraih gelar Sarjana Pendidikan Islam dengan predikat terpuji, Ammar mendapat undangan khusus untuk mengikuti Seminar Internasional di Universitas Islam Makassar. Ammar tak ingin kehilangan kesempatan emas seperti ini untuk kesekian kalinya.
Niat pertama Ammar ingin mencari beasiswa di Universitas Islam Makassar, justru menjadi jalan kemudahan untuknya mendapat beasiswa ke luar negeri. Karena Seminar Internasional yang dihadiri oleh Ammar, ternyata menghadirkan tutor dari salah satu dosen di Universitas Islamabad.
“Sorry Doctor? Let me ask many questions for you.?Ucap Ammar dengan logat bahasa inggris yang cakap layaknya orang asing.
“Okey, welcome.” Jawab Doctor Ahmeed Jauhary, salah satu dosen di Universitas Islamabad yang berbadan tinggi dan kekar, serta memiliki jenggot putih yang menggelayut dan bergantung sampai ke bawah.
Sorry Doctor? How can you choose a seminary to acquainting your University, so that make us be an extracted till we want to study at your University? Why you don’t make many advertisements or many leaflet for captivate our heart?” Ucap Ammar dengan lancar dalam bahasa inggris serta dengan logat yang fashih pula.
A good question. What’s your name?”
“Ammar, Doctor. Ammar Ma’ruf.” Jawab Ammar.
“One thousand for you, Ammar Ma’rufPuji Doctor Ahmeed Jauhary kepada Ammar, dibarengi dengan iringan ribuan tangan yang bersatu membunyikan tepuk tangan yang serempak dari semua hadirin yang ada di aula besar Universitas Islam Makassar.
“Okey, our destination here are......” Doctor Ahmeed menjawab pertanyaan Ammar dengan seksama, berurutan, dan juga terperinci tanpa bertele-tele.
“And the last, before this seminary being closed, I want to say to our friend, Ammar Ma’ruf who give me a good question. I’ll give you a complete scholarship at Islamabad University till you get an academic as Master.” Ucap Doctor Ahmeed Jauhary, disambut dengan riuh rendah tepuk tangan semua peserta Seminar Internasional yang dihadiri kurang lebih ratusan mahasiswa dan mahasiswi dari seluruh penjuru Sulawesi.
Seketika itu luapan air mata Ammar sudah tak mampu terbendung lagi dalam kantong mata, hingga meleleh dari ujung kedua matanya. Tak pandang tempat, tak lihat kondisi, Ammar langsung merendahkan kaki dan menekuk lututnya untuk tenggelam dalam sujud kesyukuran kepada Sang Illahi Robbi.
Subhanallah, sungguh rencana dan jalan Allah lebih indah dari yang terbayangkan.
Ammar kembali meyakinkan dirinya bahwa untuk meloncat menggapai sebuah bintang perlu tekanan ke bawah untuk mempersiapkan kekuatan besar agar dapat meloncat lebih tinggi.

-selesai-

No comments:

Follow Us @cha2kiyut