MUTIARA PERJUANGAN
Islamabad
(Pakistan), 10 April 2004
Birunya
laut menggambarkan hati yang lapang. Cerahnya langit melukiskan tenangnya
pikiran dan jiwa. Indah. Tak ada yang bisa menandingi indah dan menawannya goresan
tinta dari Sang Kuasa. Alhamdulillah, itulah kalimat kesyukuran yang
terucap dari lisan setiap manusia yang telah merasakan indahnya rencana dan
takdir Allah Subhanahu wata’ala.
Gedung
pencakar langit nampak di depan mata, hembusan angin kencang menerpa wajah dan
tubuh yang berdiri tegap. Menimbulkan bunyi siulan di telinga, menyibakan
rambut serta mengibaskan baju yang membalut tubuh.
Kilauan
bola-bola kecil mengintip keluar dari ujung kelopak mata.
“Aah,,
aku kangen Ibu.” Desah Ammar dalam hati.
Ammar meraba saku almamater
Perguruan Tinggi Islamabaad yang
ia kenakan. Mencari benda
kecil yang dapat mengeluarkan suara Ibunya ketika di pencet kanan ke kiri, atas
lalu ke bawah. Tak lama, selang beberapa detik suara yang dirindukannya
terdengar dari seberang.
“Assalamu’alaikum,
Ammar.?” Sapa Ibu Ammar membuka
percakapan.
“Wa’alaikumussalam,
Bu. Bagaimana kabarnya?” Kebahagiaan Ammar tak terkira, hingga tanpa sadar air
matanya ikut meleleh merasakan kelegaan hatinya.
“Alhamdulillah
sehat wal’afi’at. Bagaimana dengan ujian tesis kamu, Nak?” Antusiasme dari Ibu
Ammar juga tak kalah, untuk menanyakan kabar kelulusan Ammar untuk mencapai
gelar Master di Negri
Pakistan.
“Alhamdulillah,
ujian berjalan dengan lancar dan Ammar dinyatakan lulus dengan predikat
terpuji.” Ucap Ammar sambil mengusap air mata yang sedari tadi terus mengalir.
“Subhanallah,
anak Ibu memang sangat membanggakan. Alhamdulillah, sekarang Ibu juga sudah
bisa buka toko. Berkat beasiswa dari kamu, Nak.” Terdengar isak kebahagiaan
dari kata-kata yang diucapkan Ibu Ammar, pengungkapan kebahagiaan dari berita
alam dan sekaligus dari realita kehidupan.
Hakikat
manusia memang diciptakan untuk mengeluh. Namun, keluhan apa dan keluhan
seperti apa yang terlontar dari lisan-lisan yang lembut tak bertulang. Manusia
juga terlahir dengan banyak rencana kehidupan, namun siapakah penentu semua
takdir? Ya, kita tahu bahwa Dialah penentunya, Allah Subhanahu wata’ala.
Kehidupan
Ammar yang terlihat dan terdengar sekarang, tak seindah dan tak secerah seperti
kenyataannya. Banyak butiran air mata yang menyertai perjuangan Ammar, banyak tetesan
keringat yang telah jatuh membasahi bumi untuk menunjukkan arti sebuah
pengorbanan.
***
Darul
Amanah, 11 Agustus 1998
Pancaran
sinar mentari siang ini benar-benar menyilaukan mata, membuat tangan sibuk
menutupi mata dari sengatannya. Bergelut dengan panas yang menyisik kulit
sampai ke tulang-tulangnya. Sesekali tetesan keringat menetes dari dahi turun
ke dagu, dari pundak turun ke tangan, bahkan dari rambut turun ke tanah.
Heran
sekali. Mengapa sepoinya angin sama sekali tak menyapa siang ini? Dedaunan tak
silih bergoyang, ranting serta dahan pohon tak jua bersapa. Semua diam, laksana
ada remote control yang mengendalikan semua keadaan yang sekarang nampak di
depan mata.
Kicauan
burung yang biasanya terdengar diantara cela-cela pepohonan sama sekali tak
memperlihatkan keceriaan mereka. Nyanyian rumput yang terkadang mendayu-dayu
karena sapaan angin kini juga tak terlihat. Sebenarnya apa yang sedang terjadi
dengan hari ini?
Gemericik
aliran sungai nampak alus dan tenang. Biasanya terlihat ikan-ikan kecil
berlarian menghempaskan sirip mereka hingga orang-orang menyebutnya dengan
berenang. Pantulan sinar matahari menimbulkan biasan cahaya indah ke dalam air
itu hingga terbentuk sebuah cahaya yang biasanya disebut dengan pembiasan
cahaya pelangi.
Tetapi
kali ini, aku sama sekali tak melihat ikan-ikan kecil muncul di perairan,
walaupun sekedar untuk mengintip atau berpindah tempat dari batu yang satu ke
tempat yang lainnya. Kemana perginya mereka? Apakah mereka sudah terangkat dari
sungai ini? Apakah sekarang mereka sudah siap saji berada di atas meja makan?
Apakah
ada sesuatu yang salah? Apakah ada kejanggalan dari sebelumnya?
Bumi
dan langitpun tak mengetahuinya.
“Mar?
Ngapain kamu ngelamun disini?” Sebuah suara mengagetkan Ammar yang terduduk
sambil merenung dibawah saung kecil dekat sungai. Ammar tak bergeming.
“Woy,
ditanya kok diem aja?” Ammar masih tetap membisu tanpa kata, walaupun sekarang
dirasa ada rangkulan tangan yang melingkar di pundaknya.
“Aku
sedang galau.” Ucapnya singkat.
“Hari
gini, mahasiswa aktif dan berprestasi galau?!” Kata-kata Ammar ditimpali
olehnya.
“Karena
kamu tak tahu apa yang aku alami, Yus.” Ucap Ammar kepada Yusron, teman
karibnya di kelas sekaligus teman sebangku Ammar. Yusron hanya bisa diam tak
berkutik, karena memang kata-kata terakhir Ammar adalah benar.
***
Semuanya
berawal dari pengabdian setelah lulus belajar di Madrasah Aliyah, Pondok Al-Iman.
Ammar Ma’ruf adalah siswa yang aktif serta berprestasi ketika itu, hingga
sampai sekarang yang telah menginjak usia di bangku perkuliahan.
Amanat
yang diberikan kepada Ammar dari pondok adalah mengabdikan diri untuk mengajar
dan belajar di Pondok Darul Amanah yang bertempat di Sulawesi. Mungkin pada
awalnya ada sedikit rasa penyesalan dalam dirinya, mengapa dirinya –seperti- di
buang ke tempat yang sangat terpencil ini?
Namun,
semua pemikiran melenceng itu Ammar singkirkan dan selalu berpikir positif
serta yang baik-baik. Berarti Pondok mempercayai dirinya untuk mengembangkan
dan memajukan pondok yang masih sangat awam ini. Ammar selalu ingat petuah dari
Bapak Kyai, ‘Orang besar itu bukanlah seorang pejabat tinggi, tetapi orang
besar itu ialah orang yang mau mengajar di surau kecil di daerah terpencil.’
“Mar?
Mau berangkat kuliah jam berapa?” Pertanyaan pertama yang terlontar dari bibir Akmal
kepada Ammar.
“Lima
menit lagi, aku sedang mempersiapkan bahan untuk presentasi hari ini.” Ucap
Ammar tanpa melihat ke arah Akmal.
“Oh
iya, tugas ilmiah dari Pak Hardi ya? Berarti minggu depan giliranku?!” Seru Akmal
tercengang sesaat, karena dirinya belum mempersiapkan presentasi tugasnya sama
sekali.
“Yuk
berangkat!” Ajak Ammar tiba-tiba, tanpa peduli pada Akmal yang terdiam.
Perjalanan
Ammar dan Akmal menuju tempat perkuliahan dari Pondok Darul Amanah memakan
waktu yang cukup lama, sekitar dua jam lebih. Dikarenakan kendaraan umum yang
jarang beroperasi, dan belum adanya kendaraan pribadi yang mereka miliki. Pesan
Pak Kyai dalam setiap nasehatnya adalah ‘Bondo, Bahu, Pikir, Lek Perlu Sak
Nyawane Pisan.’
Kawasan
pepohonan yang membentuk rimbanya hutan mereka berdua lalui setiap harinya demi
menempuh pendidikan yang layak. Memang akan menempuh perjalanan yang
mengeluarkan tenaga serta keringat yang lebih dari mahasiswa di kota.
Tak
seperti Universitas Gajah Mada yang sangat terkenal, bukan juga seperti
Universitas Muhammadiyyah Malang yang tak asing terdengar di telinga. Tempat
perkuliahan Ammar dan Akmal masih kecil dan belum terkenal sampai keluar daerah
Sulawesi. Walaupun begitu, mereka tak pernah merasa kecil ataupun minder dengan
teman-teman satu angkatan dulu ketika di Pondok Al-Iman.
Dua
setengah jam berlalu, akhirnya Ammar dan Akmal telah sampai di Universitas Stainu
Makassar. Sampai di kelas, Ammar langsung menjelaskan dan mempresentasikan
tugas yang telah dipersiapkannya.
Tepuk
tangan menyambut dan mengakhiri presentasi Ammar.
“Kerja
yang bagus, Ammar. Berapa hari kamu persiapkan tugas ini, Mar?” Tanya Pak
Hardi, dosen pelajaran Tasawuf.
“Sekitar
dua minggu sebelum ini Pak.” Ucap Ammar apa adanya.
“Subhanallah,
persiapan yang mantap. Yang lainnya contohlah Ammar, walaupun sibuk dengan
mengajar, tapi dia masih bisa maksimal dalam perkuliahan.” Puji Pak Hardi
kepada Amamr, Ammar hanya diam.
“Kenapa
kau tak ajak aku, Mar?” Ucap Akmal.
“Dari
kemarin kau sibuk dengan Muhadi buat lagu. Aku tak mau ganggu.” Ammar hanya
menjawab sekenanya, karena tak bisa memungkiri dengan apa yang dikerjakan teman
karibnya ini.
Pertengkaran
kecil dan perhelatan lisan biasa terjadi antara Akmal dan Ammar, memang itulah
yang dinamakan bumbu persahabatan. Akan banyak ide dan juga pendapat antara
satu sama lain. Antara baik dan tidak terkadang bisa saja bercampur menjadi
satu, hanya ingat satu pesan. Jangan pernah berhenti ketika ada masalah.
Kawasan
universitas yang sederhana juga nyaman, membuat semua mahasiswa merasa betah
belajar di Universitas ini. Memang belum nampak dan muncul para alumni-alumni
dari universitas ini yang menjadi unggulan dan terkenal. Namun, sudah mencetak
lebih dari ratusan sarjana pendidikan.
Salah
satunya adalah Pak Hardi salah satu dosen di Universitas Stainu Makassar. Dosen
paling terkenal karena kecerdasannya dan juga kecermatan ide-ide serta
inspirasi yang diberikan untuk mahasiswa dan juga mahasiswinya.
Masih
bersyukur Ammar dan Akmal diberi kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi
ini, walaupun masih dalam masa pengabdian. Namun, dari hal inilah yang membuat
Ammar menjadi bimbang dengan masa perkuliahannya yang –notabene- agaknya masih
belum jelas arah dan juga tujuannya. Antara melanjutkan pembelajaran ini atau berhenti
pengabdian dan meneruskan kuliah di tempat lain, atau lebih tepatnya di kota
daripada di pelosok desa yang tak jelas dan bahkan tak terlalu dikenal.
Sikap
Ammar yang mudah bergaul dan juga supel sebenarnya tak pernah mempersulit
dirinya untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Mungkin karena faktor lain
yang terkadang membuat hatinya goyah dan berbolak-balik.
Jika
dibandingkan dengan Akmal, Ammar lebih baik. Lebih baik disini bukan dari segi
pergaulan ataupun kemajuan dalam beradaptasi dengan lingkungan. Ammar selalu
menganggap hal yang kecil-kecil itu penting. Itu yang selalu ditanamkan Ammar
dalam setiap hal yang dia kerjakan, karena nasehat Pak Kyai, “Pondok besar
karena memperhatikan hal yang kecil-kecil.” Ammar selalu mengingat hampir semua
nasehat-nasehat dan petuah dari pak Kyai, agar ketika keluar nanti dari pondok
bisa menjadi orang, bukan beban.
“Ammar?
Boleh minta penjelasan dari tugas Pak Hardi tadi?” Tanya Siti Sarah, teman
sekelas Ammar, Ammar terdiam sejenak hingga akhirnya dia tersadar.
“Astaghfirullahal’adzim,.
Iya.” Ammar spontan menjawab.
Satu
kelemahan Ammar ketika berada di kawasan perkuliahan, yaitu ketika berhadapan
dengan makhluk lawan jenis. Terbiasa dengan keadaan yang berhadapan dan
berinteraksi dengan laki-laki membuat Ammar takut untuk mendekati makhluk yang
dikenal dengan nama perempuan. Walaupun orang lain selalu menganggapnya enteng
dan meremehkan Ammar, tetapi ya begitulah Ammar.
Walaupun
pertamanya terasa canggung, namun Ammar mencoba menyesuaikan diri untuk
membiasakan diri berinteraksi dengan perempuan. Karena Ammar sadar, masa
depannya pasti akan bersama perempuan juga.
“Mar?
Kau sudah lihat kabar terbaru minggu ini?” Tiba-tiba Akmal datang dan
mengagetkan Ammar yang sedang menjelaskan pelajaran kepada Siti Sarah.
“Memangnya
apa, Mal?” Ammar berbalik bertanya kepada Akmal sebagai respon dari teman
karibnya itu.
“Pendaftaran
beasiswa perkuliahan di Al-Azhar Mesir dibuka lagi. Kali ini kesempatan kita.
Kau mau?” Akmal menawarkan kesempatan besar yang selama ini di nantikan oleh
Ammar, Akmal dan juga mahasiswa lainnya di Universitas Stainu ini.
“Benarkah?”
Siti Sarah spontan terkejut dengan kabar yang dibawa Akmal, malahan Ammar tak
berekspresi sama sekali.
“Tapi,
aku tak yakin akan masuk? Karena kemarin kita gagal.” Ammar mulai menciut dan
mengeluh.
“Bukankah
katamu, kegagalan itu awal mula dari keberhasilan?” Siti Sarah mencoba
mnguatkan dan mendukung Ammar.
“Kamu
adalah murid teladan lagi pintar, kita bisa belajar bersama untuk mencapai
tujuan kita. Bagaimana, Mar?” Akmal masih belum menyerah untuk mengajak sahabat
karibnya ini.
“Bolehkah
aku, Riris dan Haikal ikut bersama kalian berdua?” Ucap Siti Sarah meminta izin
kepada Ammar dan Akmal.
“Oh
ya? Mengapa tidak, kita bisa bersama-sama ke Mesir.” Akmal menimpali Siti Sarah
dengan senyuman.
Semenjak
hari itu, Ammar dan keempat temannya membentuk sebuah team sukses untuk
mencapai beasiswa ke Al-Azhar Mesir. Kekurangan demi kekurangan, mereka
lengkapi satu sama lain. Kelebihan yang dimiliki, masing-masing saling
membagikan.
Ammar,
Akmal, Siti Sarah, Riris, dan Haikal. Lima mahasiswa yang memiliki karakter
sangat berbeda antara mereka, memiliki ide-ide dan inspirasi yang bertentangan
pula. Namun, mereka disini memiliki satu tujuan yang sama, tujuan yang ingin
mereka capai dari dulu yaitu kuliah di Al-Azhar Mesir.
Dari
tempat tongkrongan yang dulunya di kantin, di taman dan juga di lapangan
basket. Tempat mereka berpindah menjadi di perpustakaan kampus. Waktu istirahat
dan waktu luang selalu mereka sempatkan untuk mengunjungi tempat yang penuh
dengan sejuta buku yang berwarna-warni dan bermacam-macam.
Salah
satu faktor yang membuat Ammar sangat bersemangat untuk mendapatkan beasiswa
ini adalah faktor keluarganya yang berasal dari kalangan rakyat berekonomi
bawah. Antusiasme dari Ammar, anak paling cerdas dan pintar membuat yang
lainnya termotivasi dan terdorong untuk tidak mau kalah dengannya. Ammar yang
sedari dulu menginginkan beasiswa ini, tak pernah menyerah walaupun telah dua
kali gagal mengikuti ujian beasiswa ke Al-Azhar Mesir.
Ammar
juga menyempatkan diri untuk belajar di sela-sela waktunya mengajar di Pondok
Darul Amanah. Setiap waktu luang yang dia temui, tangannya tak pernah kosong
dari buku, matanya tak pernah lekang dari buku berbahasa arab yang dia baca untuk
mempermudahkannya dalam ujian beasiswa yang dinantikannya.
Pagi,
siang, malam Ammar lalui dengan belajar demi mendapatkan beasiswa yang sangat
diinginkannya. Terkadang membuat Akmal heran dan bingung sendiri, karena dengan
kesibukan yang hampir sama mereka lalui. Namun, Ammar masih sempat untuk
menyempilkan –kata- belajar dalam setiap waktunya. Sedangkan dirinya masih
sulit untuk membagi waktu untuk mengajar, belajar dan lain sebagainya.
Begitulah, lain Ammar lain Akmal.
“Ammar,
bisakah kau jelaskan tentang bab ini?” Pinta Riris kepada Amamr di
tengah-tengah kegiatan belajar kelompok mereka.
“Ehmm..
Begini....” Ammar menjelaskan dengan runtut, jelas, tanpa berbelit-belit.
Diantara
Ammar, Akmal, Siti Sarah, Riris dan Haikal, memang Ammar yang paling pintar dalam
segala hal. Pelajaran apapun Ammar bisa jelaskan kepada teman-temannya. Sampai-sampai
banyak dosen yang kagum terhadap dirinya.
Walau
begitu, Ammar tak pernah merasa besar kepala. Tak pernah terbesit sedikitpun
kata ke-sombong-an dalam hati dan jiwanya. Menurut Ammar apalah arti kepintaran
dan kecerdasan jika tanpa Tuhan yang memberikan. Itu semua bukan dari dirinya
bahkan bukan pula miliknya namun karunia dan berkah dari Allah Subhanahu
wata’ala.
Sesekali
Haikal menjadi guru dalam kelompok belajar mereka, namun paling sering Ammar
menjadi guru –muahil haqiqi- untuk semua mata perkuliahan dan bahan untuk ujian
ke Al-Azhar Mesir itu.
Satu
sama lain dari mereka saling memotivasi dan memberikan dorongan serta kesan
positif untuk kesemangatan menuntut ilmu di Negri Padang Pasir. Walaupun
terkadang iman menjadi goyah dan tekad menjadi ciut karena kegagalan yang
selalu menjadi bayangan semu dalam setiap malam dan mimpi-mimpi mereka.
Karena
sebuah kerpercayaan yang tinggi dan mengikat persahabatan mereka, hingga tak
akan tumbang walaupun badai ketakutan dan angin kekhawatiran melanda pohon
persahabatan mereka. Mereka kuat karena persatuan, mereka bersama karena doa.
Tepat
satu bulan telah berlalu, tepat pula hari dimana pengumuman hasil seleksi ujian
beasiswa yang telah diselenggarakan. Hati deg-degan serasa ingin meloncat
keluar, tangan bergetar, kaki ikut menengang, bibir tak berhenti berbisik
kalimat dzikir dan istighfar.
Kesempatan
beasiswa hanya setahun sekali, andaikan tidak masuk seleksi tahun ini, berarti
harus siap menantikan seleksi tahun depannya lagi. Diterima ataupun tidak, itu
adalah takdir terbaik dari Allah Subhanahu wata’ala.
Akmal
berjalan sempoyongan menuju kerumunan sahabatnya. Ekspresi tubuhnya memberikan
sinyal tidak sedap untuk didengar,
berita
yang kurang baik untuk diterima.
“Akmal?
Bagaimana hasilnya?” Teriak Haikal yang tidak sabar menantikan pengumuman
seleksi ujiannya.
“Kau
lihat sendiri saja lah!” Akmal memberikan secarik kertas berisikan nama-nama
mahasiswa yang lolos seleksi ujian untuk beasiswa ke Al-Azhar Mesir.
Setelah
beberapa detik membaca, senyuman Siti Sarah muncul. Tak berapa lama Riris juga menyunggingkan
segaris senyuman. Begitu juga dengan Haikal yang melongo tak percaya bahwa
dirinya lolos seleksi. Namun,..
“Astaghfirullahl’adzim.
Aku tidak menemukan nama Ammar di sini.” Ucap Siti Sarah dengan nada sedikit
berbisik.
Haikal
melotot dan terkejut tanda tak percaya.
Senyuman
Riris langsung padam, dan hampir menitikkan air mata.
Akmal
dengan sigap merangkul pundak Ammar, sahabat karib yang selalu mendukungnya dan
memberikan motivasi, sekaligus guru dalam kelompok belajar bersama mereka.
Sahabat yang ternyata malah tidak lolos seleksi ujian beasiswa ke Al-Azhar
Mesir.
Ammar
mencoba tegar dan tabah, walaupun harus merelakan keempat sahabatnya untuk berangkat
bersama ke Negri Padang Pasir tanpa dirinya. Ammar tak mampu meneteskan air
mata, hanya diam membisu tak berkutik. Untuk saat ini hanya kalimat istighfar
yang keluar dari lisannya, namun Ammar tak pernah lupa dengan –kalimat-
bersyukur dalam hati.
“Aku
enggak mau berangkat tanpamu, Mar.” Ucap Akmal tiba-tiba. Ammar terkejut
melihat raut muka sahabat karibnya.
“Enggak
boleh. Kalian harus tetap berangkat. InsyaAllah, aku akan menyusul kalian tahun
depan.” Kata Ammar penuh ketenangan dan ketegaran, tanpa rasa sedih dan raut
yang malang.
Luapan
kesedihan hanya Ammar ungkapkan di setiap sujudnya kepada Yang Esa. Ammar tak
pernah menampakkan wajah kesedihan apalagi murung yang berlarut-larut. Ammar
percaya bahwa ini memang yang terbaik dari Allah untuk dirinya, untuk pengabdiannya
di Pondok Darul Amanah ini.
Sampai
di hari keberangkatan keempat sahabatnya ke Al-Azhar Mesir. Ammar selalu setia
menemani mereka dari mengurus paspor, visa dan surat-surat keterangan lainnya,
hingga mengantarkan kepergian mereka dari Negara tercinta Indonesia menuju ke
tempat perantauan sekaligus tempat belajar di Al-Azhar Mesir.
***
“Sebab
itukah kau jadi murung seperti ini?” Yusron mencoba menghibur Ammar yang telah
kehilangan senyuman di bibirnya.
“Aku
juga bingung antara mau pulang atau tetap disini.?” Kedua bola mata Ammar mulai
memperlihatkan bulir-bulir butiran kilauan air mata. Yusron berpikir dalam.
“Sekarang
Ibuku sendirian dirumah bersama kedua adik kecilku, tak ada yang membiayai
keluargaku. Karena... Karena...” Suara Ammar mulai terbata-bata hingga akhirnya
air mata Ammar meleleh di hadapan Yusron tanpa permisi.
“Bapakku
pergi dengan wanita lain.” Setelah sekian lama, akhirnya air mata Ammar meluap
dan membanjiri pipinya.
“Apakah
kau lupa denganku?” Yusron membalik paksa badan Ammar dan membuatnya berhadapan
dengan wajahnya. Ammar hanya terdiam melihat Yusron.
“Sahabat
yang selalu siap membantumu. Jangan pernah merasa bahwa masalah yang datang
kepadamu adalah penghalang untuk mencapai cita-cita dan impian yang selama ini
kau inginkan. Aku percaya kau bisa menghadapi semua ini, masih ada aku yang
akan selalu setia bersamamu, Mar.” Yusron menghibur kemalangan sahabat
karibnya, Ammar.
Persahabatan
yang sesungguhnya adalah jalinan antara kita dengan sahabat yang selalu mendorong
kita kepada kebaikan dan membawa kita kepada kesyukuran atas nikmat Illahi
Robbi. Sahabat yang selalu menguatkan kita ketika kita layu, sahabat yang
membangkitkan kita ketika kita terjatuh.
Kini
Ammar menyadari bahwa keterpurukan dirinya malah akan menambahkan masalah yang
mengurung dirinya kedalam jiwa yang kufur, tanpa rasa bersyukur.
Berkat
sahabatnya, Yusron. Ammar yakin bahwa suatu saat nanti Allah Subhanahu
wata’ala akan memberikan hadiah terindah bahkan lebih indah dari mimpi-mimpinya
selama ini.
***
Makassar,
07 Agustus 2002
Tahun demi tahun, Ammar dilalui dengan
doa dan juga tawakkal. Ammar tetap menguatkan diri untuk melanjutkan
perkuliahannya hingga selesai, sampai Ammar akan mencapai kehidupan yang layak
nantinya. Untuk masa depan Ammar, untuk Ibunya, dan terutama untuk masa depan
kedua adiknya.
Setelah
selesai melalui ujian skripsi dan meraih gelar Sarjana Pendidikan Islam dengan
predikat terpuji, Ammar mendapat undangan khusus untuk mengikuti Seminar
Internasional di Universitas Islam Makassar. Ammar tak ingin kehilangan
kesempatan emas seperti ini untuk kesekian kalinya.
Niat
pertama Ammar ingin mencari beasiswa di Universitas Islam Makassar, justru
menjadi jalan kemudahan untuknya mendapat beasiswa ke luar negeri. Karena
Seminar Internasional yang dihadiri oleh Ammar, ternyata menghadirkan tutor
dari salah satu dosen di Universitas Islamabad.
“Sorry
Doctor? Let me ask many questions for
you.?” Ucap
Ammar dengan logat bahasa inggris yang cakap layaknya orang asing.
“Okey,
welcome.” Jawab Doctor Ahmeed Jauhary, salah satu dosen di Universitas
Islamabad yang berbadan tinggi dan kekar, serta memiliki jenggot putih yang
menggelayut dan bergantung sampai ke bawah.
“Sorry Doctor? How can you choose a seminary to
acquainting your University, so that make us be an extracted till we want to
study at your University? Why you don’t make many advertisements or many
leaflet for captivate our heart?” Ucap Ammar dengan
lancar dalam bahasa inggris serta dengan logat yang fashih pula.
“A good question. What’s your name?”
“Ammar, Doctor. Ammar Ma’ruf.” Jawab Ammar.
“One thousand for you,
Ammar Ma’ruf” Puji
Doctor Ahmeed Jauhary kepada Ammar, dibarengi dengan iringan ribuan tangan yang
bersatu membunyikan tepuk tangan yang serempak dari semua hadirin yang ada di
aula besar Universitas Islam Makassar.
“Okey,
our destination here are......” Doctor Ahmeed menjawab pertanyaan Ammar dengan
seksama, berurutan, dan juga terperinci tanpa bertele-tele.
“And
the last, before this seminary being
closed, I want to say to our friend, Ammar Ma’ruf who give me
a good question. I’ll give you a complete scholarship at Islamabad University
till you get an academic as Master.” Ucap Doctor Ahmeed Jauhary,
disambut dengan riuh rendah tepuk tangan semua peserta Seminar Internasional
yang dihadiri kurang lebih ratusan mahasiswa dan mahasiswi dari seluruh penjuru
Sulawesi.
Seketika
itu luapan air mata Ammar sudah tak mampu terbendung lagi dalam kantong mata,
hingga meleleh dari ujung kedua matanya. Tak pandang tempat, tak lihat kondisi,
Ammar langsung merendahkan kaki dan menekuk lututnya untuk tenggelam dalam
sujud kesyukuran kepada Sang Illahi Robbi.
Subhanallah,
sungguh rencana dan jalan Allah lebih indah dari yang terbayangkan.
Ammar
kembali meyakinkan dirinya bahwa untuk meloncat menggapai sebuah bintang perlu
tekanan ke bawah untuk mempersiapkan kekuatan besar agar dapat meloncat lebih
tinggi.
-selesai-
No comments:
Post a Comment